Hari-hari berikutnya setelah percakapan mendalam di kafe itu, atmosfer kerja antara Aruna dan Bima semakin cair dan produktif. Sesi workshop dan reading tidak lagi hanya sekadar kewajiban profesional, tetapi menjadi momen-momen yang dinantikan. Mereka menemukan ritme yang harmonis, saling melengkapi dalam menggali karakter Elara dan Arya. Ara, dengan pengalamannya, sering memberikan masukan berharga yang membantu Bima memahami nuansa emosi Arya. Sebaliknya, Bima, dengan perspektifnya yang segar dan idealismenya, seringkali memantik diskusi yang membuat Ara melihat Elara dari sudut pandang baru.
Koneksi personal mereka pun turut berkembang. Di sela-sela latihan, mereka sering bertukar cerita, berbagi tawa, dan kadang, momen-momen perenungan yang hening, tapi penuh makna. Bima tak lagi merasa canggung atau terintimidasi. Ia mulai melihat Aruna bukan hanya sebagai diva legendaris atau aktris brilian, tetapi sebagai Ara—seorang perempuan dengan segala kompleksitas, kehangatan, dan kerapuhannya. Dan Ara, ia menemukan dalam diri Bima seorang teman diskusi yang sepadan, seseorang yang bisa ia percaya, yang kehadirannya memberikan rasa nyaman yang langka.
Namun, dunia di luar kepompong nyaman ruang latihan mereka tak pernah benar-benar diam. Meskipun gosip awal tentang mereka mulai mereda seiring tidak adanya "bahan" baru yang sensasional, persepsi tentang "ketidaksesuaian" status mereka tetap membayang, terutama di kalangan tertentu industri hiburan yang sangat hierarkis.
Kesempatan bagi Ara untuk menunjukkan sikapnya secara lebih definitif datang dalam sebuah acara makan malam eksklusif yang diadakan oleh salah satu sponsor utama film "Simfoni Senja". Acara itu dihadiri oleh para petinggi perusahaan sponsor, beberapa investor film, serta tentu saja, Adi Pratama, para produser, Aruna, dan Bima sebagai representasi dari para pemeran utama.
Malam itu, Ara tampil memukau seperti biasa dalam balutan gaun malam berwarna zamrud yang elegan. Bima, meskipun tetap dengan gayanya yang sederhana, tapi rapi—kemeja batik lengan panjang dipadu celana bahan gelap—tak bisa menutupi sedikit rasa canggung berada di tengah kerumunan orang-orang super kaya dan berpengaruh itu. Ia lebih banyak diam, mengamati, dan sesekali tersenyum sopan.
Di tengah acara, saat Ara sedang berbincang dengan CEO perusahaan sponsor, seorang wanita paruh baya yang merupakan istri dari salah satu investor film menghampirinya. Wanita itu, yang dikenal sebagai sosialita papan atas dengan lingkaran pertemanan yang luas, menyapa Ara dengan senyum manis yang terasa artifisial.
"Aruna, sayang, penampilanmu malam ini sungguh luar biasa, seperti biasa," sapanya dengan nada manja. "Proyek film barumu ini pasti akan sukses besar, apalagi dengan namamu sebagai jaminan."
Ara tersenyum sopan. "Terima kasih, Tante Marissa. Kami semua bekerja keras untuk memberikan yang terbaik."
"Tentu, tentu," sahut tante Marissa, matanya kemudian melirik ke arah Bima yang sedang berdiri agak jauh, berbincang dengan Adi. "Lawan mainmu itu ... Bima, ya namanya? Dia beruntung sekali ya bisa satu proyek denganmu. Seperti ketiban durian runtuh." Ada nada meremehkan yang tak bisa disembunyikan dalam suaranya. "Tapi, Ara sayang, untuk proyek-proyekmu selanjutnya, mungkin kamu harus lebih selektif memilih lawan main. Yang lebih ... sepadan, begitu. Demi menjaga brand value-mu juga, kan?"
Seketika, senyum di wajah Ara sedikit menegang. Ranti, yang berdiri tak jauh dari Ara, sudah bersiap untuk turun tangan, tapi Ara memberinya isyarat mata untuk tetap tenang. Ini adalah "pertarungannya".