Minggu-minggu berikutnya bergulir dengan ritme yang semakin padu. Proses syuting "Simfoni Senja" telah dimulai, dan di bawah arahan tangan dingin Adi Pratama, Aruna dan Bima menjelma menjadi Elara dan Arya dengan begitu meyakinkan. Setiap adegan yang mereka lakoni bersama terasa hidup, dialiri emosi yang jujur dan chemistry yang tak terbantahkan. Di luar lokasi syuting, hubungan mereka semakin erat. Diskusi tentang pendalaman karakter seringkali berlanjut hingga larut malam melalui pesan singkat atau telepon, diselingi canda tawa dan percakapan ringan tentang hal-hal di luar pekerjaan.
Ara merasa seperti menemukan kembali sebagian dari dirinya yang telah lama hilang. Kehadiran Bima, dengan ketulusan dan dukungan tanpa syaratnya, seolah menjadi oasis di tengah gurun panjang kehidupannya yang penuh tuntutan. Benteng di sekitar hatinya, yang dulu begitu kokoh, kini mulai menunjukkan celah-celah di mana cahaya bisa masuk. Ia mulai berani berharap, berani merasa.
Bima pun merasakan hal yang sama. Kepercayaan yang diberikan Ara, baik secara profesional maupun personal, telah menumbuhkan rasa percaya diri yang luar biasa dalam dirinya. Ia tak lagi terintimidasi oleh status atau popularitas Ara. Ia melihat Ara sebagai partner, sahabat, dan mungkin ... sesuatu yang lebih. Sesuatu yang belum berani ia definisikan, tapi terasa begitu nyata dan hangat di hatinya.
Namun, seperti kata pepatah, langit tak selamanya biru. Kebahagiaan yang mulai mereka rajut bersama tiba-tiba diusik oleh badai dari masa lalu. Badai yang datang tanpa peringatan, mengancam menghancurkan segalanya.
Pagi itu, Selasa, 3 Desember 2024, dimulai seperti biasa. Ara bangun pagi, melakukan yoga singkat di balkon apartemennya yang menghadap kemacetan Jakarta yang mulai menggeliat, lalu bersiap menuju lokasi syuting. Ranti sudah menunggunya di bawah dengan secangkir kopi hangat dan rangkuman jadwal hari ini.
"Pagi, Ra. Semalam tidurnya nyenyak?" sapa Ranti.
"Nyenyak sekali, Ran. Rasanya sudah lama aku tidak tidur setenang ini," jawab Ara sambil tersenyum.
Namun, senyum itu segera memudar saat Ranti menunjukkan layar tabletnya. Wajah Ranti tampak tegang, sesuatu yang jarang terjadi. Di layar itu, terpampang judul berita dari sebuah portal hiburan yang dikenal paling agresif dan seringkali tidak beretika: "EKSKLUSIF! Skandal Video Lama Aruna Candrakirana Kembali Beredar, Ada Fakta Baru yang Terungkap?"
Jantung Ara seolah berhenti berdetak. Napasnya tercekat. Dunia di sekelilingnya seolah berputar. Skandal itu. Hantu terkelam dari masa lalunya, yang ia kira sudah terkubur dalam, kini bangkit kembali.
Dengan tangan gemetar, Ara mengambil tablet dari tangan Ranti. Artikel itu ditulis dengan gaya yang provokatif, penuh insinuasi, dan mengklaim memiliki "sumber anonim" yang mengungkapkan detail-detail baru yang lebih vulgar dan memberatkan. Meskipun tidak ada bukti konkret yang disajikan, hanya permainan kata-kata dan kutipan-kutipan sumir, tujuannya jelas: menghancurkan reputasi Ara sekali lagi.
"Ini ... ini gak mungkin," bisik Ara, matanya nanar menatap layar. Luka lama yang ia kira sudah sembuh, kini terasa perih menganga, seolah baru kemarin terjadi. Semua rasa sakit, malu, dan penghakiman yang pernah ia rasakan belasan tahun lalu, kembali menyerbu dengan kekuatan penuh.
Ranti merangkul bahu Ara. "Tenang, Ra. Ini pasti ulah orang iseng yang mau cari sensasi. Kita akan segera tangani ini. Tim hukum kita akan bergerak."