Malam itu, Selasa, 3 Desember 2024, terasa begitu panjang bagi Aruna. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar, ia membuka pintu apartemennya. Sosok Bima Angkasa berdiri di sana, di bawah cahaya temaram koridor, wajahnya menyiratkan kecemasan yang tulus. Untuk beberapa saat, mereka hanya saling pandang. Ara, dengan mata sembap dan penampilan acak-acakan, merasa begitu telanjang dan rapuh. Ini adalah dirinya di titik terendah, dan Bima melihatnya. Rasa takut akan penolakan, akan penghakiman, kembali mencengkeram.
Bima, melihat kondisi Ara, merasakan hatinya teriris. Tanpa banyak kata, ia melangkah masuk saat Ara memberinya sedikit ruang, lalu dengan lembut menutup pintu di belakang mereka. Ia tidak langsung menghujani Ara dengan pertanyaan atau nasihat. Ia hanya berdiri di sana, tatapannya penuh kehangatan, seolah berkata, "Aku di sini."
"Mbak Ara ..." suara Bima terdengar lembut, hampir berbisik.
Ara tak sanggup menahan lagi. Air mata yang sejak sore tadi coba ia bendung, kini luruh tak terbendung. Isak tangisnya pecah, memenuhi ruangan yang sunyi. Ia tak peduli lagi bagaimana penampilannya. Ia hanya merasa hancur.
Bima tidak panik. Dengan gerakan perlahan dan hati-hati, ia mendekati Ara. Ia tidak langsung memeluk, sadar bahwa Ara mungkin sedang tidak ingin disentuh. Ia hanya berdiri di dekatnya, memberikan kehadirannya sebagai sandaran.
"Nangis aja, Mbak," katanya pelan. "Keluarin semuanya. Gak apa-apa."
Kata-kata sederhana itu, diucapkan dengan nada yang begitu tulus, justru membuat tangis Ara semakin menjadi. Ia menangis untuk rasa sakit masa lalu yang kembali, untuk penghakiman dunia, untuk ketakutannya akan masa depan, dan untuk kerapuhan yang selama ini ia coba sembunyikan di balik citra divanya.
Setelah beberapa lama, saat isak tangis Ara mulai mereda, Bima dengan lembut menuntunnya untuk duduk di sofa. Ia kemudian beranjak ke dapur, membuatkan segelas teh hangat dengan sedikit madu, seperti yang pernah Ara ceritakan sebagai minuman penenangnya. Ia meletakkan cangkir teh itu di meja depan Ara.
"Minum dulu, Mbak. Biar sedikit tenang," ujar Bima, duduk di sofa yang sama, tapi menjaga jarak yang sopan.
Ara meraih cangkir teh itu dengan tangan gemetar. Kehangatan cangkir itu sedikit menjalar ke telapak tangannya yang dingin. Ia menyesap tehnya pelan, rasa manis dan hangatnya sedikit meredakan gejolak di dadanya.