Bulan Januari 2025 datang membawa kehangatan baru, tidak hanya dari mentari musim kemarau yang mulai menyapa Jakarta, tetapi juga dari dalam hati Aruna Candrakirana dan Bima Angkasa. Badai fitnah dan keraguan yang menerpa mereka beberapa waktu lalu seolah telah menyapu bersih sisa-sisa ketidakpastian, meninggalkan tanah yang subur untuk cinta mereka bertumbuh semakin kokoh. Keputusan mereka untuk berjalan beriringan di karpet merah malam penghargaan itu, dengan kepala tegak dan tangan saling menggenggam, menjadi deklarasi tanpa kata yang membungkam banyak suara sumbang. Mereka telah memilih.
Keputusan untuk melangkah ke jenjang pernikahan datang bukan sebagai sebuah ketergesaan, melainkan sebagai sebuah aliran alami dari sungai komitmen mereka yang semakin dalam. Suatu sore, beberapa minggu setelah insiden artikel majalah itu, saat mereka sedang menikmati ketenangan di sebuah pantai tersembunyi di Lombok – sebuah pelarian singkat dari kesibukan syuting – Bima, dengan cara yang begitu khas dirinya, sederhana tapi penuh ketulusan, mengungkapkan keinginannya.
Mereka duduk di atas pasir putih, menatap matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat, melukis langit dengan warna jingga keemasan. Tidak ada cincin berlian mewah yang disodorkan, tidak ada kata-kata puitis yang dihafalkan. Bima hanya menoleh pada Ara, meraih tangannya, dan menatap matanya lekat.
"Ra," ujarnya pelan, suaranya sedikit bergetar tapi matanya memancarkan keyakinan. "Aku tidak punya banyak hal untuk ditawarkan selain hatiku, kesetiaanku, dan janji untuk selalu ada di sisimu, dalam suka maupun duka, dalam badai maupun ketenangan. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu, belajar bersamamu, bertumbuh bersamamu. Maukah kamu … maukah kamu menjadi istriku?"
Ara terdiam, matanya berkaca-kaca. Bukan karena keraguan, melainkan karena luapan emosi yang begitu besar. Ia melihat Bima, pria yang telah menunjukkan cinta dalam bentuknya yang paling murni, pria yang telah menjadi jangkar bagi jiwanya yang seringkali bergejolak. Ia melihat masa depan bersamanya, masa depan yang damai dan penuh makna.
"Ya, Bim," bisiknya, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. "Ya, aku mau."
Pelukan mereka di bawah langit senja itu menjadi saksi bisu dimulainya babak baru dalam kisah mereka.
Perencanaan pernikahan mereka jauh dari hiruk pikuk pesta glamor yang mungkin diharapkan publik dari seorang Aruna Candrakirana. Keduanya sepakat menginginkan sebuah perayaan yang intim, sakral, dan benar-benar mencerminkan jiwa mereka. Bali, pulau Dewata yang sarat akan spiritualitas dan keindahan alam, dipilih sebagai lokasi. Bukan di sebuah hotel bintang lima yang megah, melainkan di sebuah vila pribadi dengan taman luas yang menghadap langsung ke samudra Hindia, di daerah Uluwatu yang tenang. Tamu yang diundang pun hanya keluarga inti dan sahabat-sahabat terdekat, orang-orang yang benar-benar menjadi bagian penting dalam perjalanan hidup mereka. Ranti, Doni, Adi Pratama, dan beberapa rekan artis yang tulus mendukung mereka tentu saja ada dalam daftar.
Persiapan berjalan lancar, dibantu oleh Ranti dan Doni yang begitu antusias. Ara dan Bima terlibat langsung dalam setiap detailnya, memastikan bahwa setiap elemen dalam pernikahan mereka memiliki makna personal. Gaun pengantin Ara dirancang khusus oleh seorang desainer muda Indonesia berbakat, sebuah gaun sederhana tapi elegan dengan sentuhan etnik, mencerminkan kecintaannya pada budaya Indonesia. Bima akan mengenakan setelan linen berwarna gading, serasi dengan suasana pantai yang santai tapi tetap khidmat.
Senin pagi, 3 Maret 2025. Langit Bali begitu cerah, seolah turut merestui hari bahagia itu. Udara pagi terasa segar, diiringi deburan ombak yang menenangkan. Di vila yang telah dihias dengan bunga-bunga putih dan dedaunan tropis, suasana haru dan bahagia begitu kental terasa.