Tiga bulan telah berlalu sejak Aruna Candrakirana dan Bima Angkasa mengikat janji suci di bawah langit Bali. Agustus 2025 di Jakarta terasa lebih hangat, bukan hanya karena cuaca, tetapi juga karena aura kebahagiaan yang kini senantiasa memancar dari pasangan yang baru menikah itu. Mereka memutuskan untuk tinggal di apartemen penthouse milik Ara, sebuah ruang yang luas dan mewah, tapi kini terasa berbeda. Sentuhan personal Bima—beberapa rak buku tambahan yang penuh dengan koleksi sastranya, sudut kecil untuk melukis yang ia siapkan untuk Ara, dan aroma masakan sederhana yang sesekali menguar dari dapur—telah mengubahnya menjadi sebuah "rumah" yang sesungguhnya, sebuah sangkar emas yang kini berisi dua jiwa merdeka yang saling mencintai.
Kehidupan pernikahan membawa perubahan subtil, tapi signifikan bagi keduanya. Ara, sang diva yang selama ini dikenal publik dengan citra kuat dan terkadang sedikit menjaga jarak, kini tampak jauh lebih rileks dan sering tersenyum lepas, terutama saat bersama Bima. Beban untuk selalu tampil sempurna di mata dunia seolah sedikit terangkat dari pundaknya. Ia menemukan kenyamanan dalam menjadi "Ara saja" di samping Bima, tanpa perlu khawatir akan penghakiman atau ekspektasi. Pagi hari, ia tak ragu lagi keluar kamar dengan piyama dan rambut acak-acakan, disambut senyum hangat Bima dan secangkir kopi yang telah disiapkan. Mereka seringkali menghabiskan waktu sarapan dengan obrolan ringan, membahas rencana hari itu, atau sekadar menikmati keheningan pagi bersama sebelum kesibukan menyergap.
Kegembiraan Ara menular. Ranti, manajernya, seringkali menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat Ara yang kini lebih mudah tertawa saat rapat atau lebih santai menanggapi komentar-komentar miring yang sesekali masih muncul di media sosial. "Kamu benar-benar menemukan kebahagiaanmu, Ra," kata Ranti suatu hari. Ara hanya tersenyum, senyum yang begitu tulus dan damai. Kebahagiaan itu bernama Bima Angkasa.
Bima, di sisi lain, tumbuh menjadi pria yang semakin matang dan percaya diri. Pernikahannya dengan Ara, dan penerimaan penuh yang ia rasakan, telah menghapus sisa-sisa keraguan diri yang dulu sempat menghantuinya. Ia tak lagi merasa sebagai "Bima yang beruntung mendapatkan Ara", melainkan sebagai Bima, suami Aruna Candrakirana, partner sejajar dalam suka dan duka. Ia menjalani kariernya dengan semangat baru, beberapa tawaran film dengan peran-peran menantang datang padanya, dan ia menghadapinya dengan fokus dan dedikasi tinggi, tahu bahwa di rumah ada Ara yang selalu mendukung dan mendoakannya.
Ia juga menikmati perannya sebagai suami. Meski Ara memiliki asisten rumah tangga, Bima seringkali mengambil alih beberapa pekerjaan rumah sederhana, seperti memasak sarapan di akhir pekan, atau sekadar memastikan Ara tidak lupa makan di tengah kesibukannya. Baginya, itu bukan kewajiban, melainkan bentuk perhatian dan cinta. Ia juga menjadi pendengar yang sabar bagi Ara, tempat Ara mencurahkan segala kegelisahan atau kebahagiaannya. Ia belajar memahami dunia Ara yang kompleks, tanpa merasa terintimidasi, melainkan dengan keinginan tulus untuk menjadi bagian dari dunia itu, sebagai pendamping yang suportif.
Tentu saja, "kejomplangan" yang dulu menjadi sorotan masih ada. Ara tetaplah Aruna Candrakirana dengan jadwal super padat, lingkaran pertemanan kelas atas, dan gaya hidup yang terkadang berbeda dengan kesederhanaan Bima. tapi, kini mereka menavigasi perbedaan itu dengan harmoni, saling pengertian, dan seringkali, dengan sentuhan humor.