Ketika Langit Tak Lagi Batasnya...

Shabrina Farha Nisa
Chapter #16

Langit Tak Lagi Batasnya

Lima tahun telah berlalu sejak Aruna Candrakirana dan Bima Angkasa mengikrarkan janji suci mereka di bawah langit senja Bali. Waktu, yang seringkali menjadi pengikis cinta, bagi mereka justru menjelma menjadi pemahat ulung yang semakin memperindah dan memperdalam ikatan jiwa mereka. Pertengahan tahun 2030, di sebuah vila peristirahatan mereka yang tenang di perbukitan Ubud, jauh dari hingar bingar Jakarta, gambaran kebahagiaan itu terpancar begitu nyata.

Pagi itu, Ara, yang kini berusia empat puluh enam tahun, duduk di teras belakang, secangkir teh melati hangat mengepulkan uap di tangannya. Wajahnya, meski dihiasi beberapa garis halus yang menandai perjalanan waktu, memancarkan ketenangan dan kebijaksanaan yang kian matang. Tak ada lagi sorot kegelisahan atau benteng tinggi yang dulu sering ia pasang. Yang ada hanyalah kedamaian seorang perempuan yang telah menemukan rumah sejati bagi hatinya. Pandangannya tertuju pada taman luas di mana Bima, suaminya yang kini berusia tiga puluh tujuh tahun, sedang tertawa lepas bermain kejar-kejaran dengan sepasang buah hati mereka: Samudra, putra sulung mereka yang berusia empat tahun dengan mata teduh seperti ayahnya, dan Mentari, putri bungsu mereka yang baru berusia dua tahun, dengan senyum secerah nama yang disandangnya dan energi yang seolah tak pernah habis, mirip ibunya di masa muda.

Bima, yang kini telah menjadi salah satu aktor paling disegani di Asia Tenggara dan bahkan mulai merambah perfilman global, tampak begitu berbeda saat bersama keluarganya. Tak ada lagi aura bintang besar, yang ada hanyalah seorang suami dan ayah yang penuh kasih, yang rela berguling-guling di rumput demi tawa riang anak-anaknya. Kepercayaan dirinya kini begitu solid, bukan hanya sebagai aktor, tetapi sebagai pria, sebagai kepala keluarga. Pernikahannya dengan Ara, dan kehadiran Samudra serta Mentari, telah melengkapi hidupnya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Kehidupan pernikahan mereka adalah sebuah simfoni yang terus dimainkan dengan harmoni. Perbedaan yang dulu pernah menjadi bahan gunjingan, kini menjadi warna-warni indah dalam lukisan keluarga mereka. Ara, dengan pengalamannya yang luas, seringkali menjadi penasihat bijak bagi Bima dalam menavigasi kompleksitas industri hiburan internasional. Sebaliknya, Bima, dengan kesederhanaan dan kejujuran pandangannya, seringkali menjadi pengingat bagi Ara untuk tetap membumi dan menikmati keindahan dalam hal-hal kecil.

Mereka telah belajar untuk saling memberi ruang, tapi juga untuk selalu hadir saat dibutuhkan. Saat Ara memutuskan untuk mengambil jeda panjang dari dunia tarik suara untuk fokus pada keluarga dan yayasan sosial yang baru dirintisnya—sebuah yayasan yang bertujuan mendukung seniman-seniman muda berbakat dari daerah terpencil—Bima adalah orang pertama yang mendukung keputusannya dengan sepenuh hati. "Lakukan apa yang membuat hatimu bahagia, Ra," katanya saat itu. "Aku akan selalu ada di sini, mendukungmu."

Begitu pula Ara, saat Bima mendapatkan tawaran untuk menyutradarai film panjang pertamanya, sebuah proyek idealis yang telah lama ia impikan, Ara menjadi sumber kekuatan dan inspirasi terbesar baginya. Ia membaca setiap draf skenario, memberikan masukan konstruktif, bahkan setuju untuk tampil sebagai cameo dalam film itu, sebuah gestur dukungan yang begitu berarti bagi Bima.

Kesuksesan profesional mereka terus berlanjut, tapi kini dengan prioritas yang berbeda. Bukan lagi tentang mengejar popularitas atau piala penghargaan semata, melainkan tentang menciptakan karya yang bermakna, yang bisa memberikan dampak positif bagi banyak orang. Mereka seringkali berdiskusi tentang proyek-proyek kolaborasi di masa depan, mungkin sebuah rumah produksi kecil yang fokus pada film-film berkualitas, atau sebuah sekolah seni untuk anak-anak kurang mampu. Impian mereka kini bukan lagi hanya tentang "aku" atau "kamu", melainkan tentang "kita" dan "mereka".

Lihat selengkapnya