Begitu Almira melangkah keluar dari gedung Aksara Global Partners, angin siang menerpa wajahnya—dingin, meski cuaca sedang terik. Pikirannya masih kacau oleh tuduhan barusan ketika ponselnya bergetar pelan.
Sebuah notifikasi WhatsApp muncul.
Nama pengirimnya membuat Almira otomatis tersenyum tipis: Bagas.
Lima tahun mereka bersama dan tiga bulan lagi mereka akan menikah. Bagas adalah satu-satunya tempat ia merasa aman… setidaknya selama ini.
“Sudah selesai presentasinya? Aku di Coffee Corner, dekat sini. Aku tunggu di sana. Ada yang perlu kita bicarakan.”
Walau hatinya masih berat, Almira merapikan rambutnya dan segera berjalan menuju kafe itu. Ia pikir, bertemu Bagas mungkin bisa meredakan sedikit kekacauan dalam kepalanya.
Almira segera berjalan cepat menuju kafe yang dimaksud.
Coffee Corner dipadati karyawan dari berbagai perusahaan di sekitar kawasan itu. Saat Almira mendorong pintu kaca, aroma tebal kopi Arabika panggang bercampur dengan wangi pastry mentega yang baru matang langsung menyambutnya. Suara benturan cangkir, mesin espresso mendesis, dan riuh rendah obrolan manajer yang membahas target kuartalan menciptakan kebisingan yang akrab dan ramai.
Para pengunjungnya didominasi oleh eksekutif muda—pria berjas rapi dan wanita dengan blazer elegan—semua tenggelam dalam laptop, ponsel, atau diskusi bisnis. Almira menyusuri lorong yang sempit di antara meja-meja bundar, mencari sosok Bagas.
Akhirnya, ia menemukannya.
Bagas duduk di meja kecil di pojok kafe, tepat di samping jendela besar yang menghadap ke jalan raya. Ia tidak sedang memegang laptop atau ponsel. Bagas hanya duduk tegak, kedua tangannya terlipat di depan dada, tatapannya kosong ke luar jendela, seperti sedang merenungkan sesuatu.
“Hai, Mas!” sapa Almira lembut, mencoba menangkap perhatian Bagas. “Ada apa? Kamu kelihatan—“
Bagas mengangkat kepalanya. Matanya yang biasanya hangat kini tampak dingin. “Kita akhiri hubungan ini, Almira.”
Kata-kata itu membuat Almira terdiam seketika. Aroma kopi di sekitarnya mendadak terasa pahit. Suara riuh di kafe seakan menghilang, hanya menyisakan dengungan kosong di telinganya.
Almira menatap Bagas, setengah berharap pria itu akan tersenyum dan berkata ia hanya bercanda. Tapi wajah itu tak berubah. Tak ada ragu.
“Aku… nggak mengerti, Mas,” ucap Almira perlahan, suaranya serak. “Hubungan kita baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba kamu minta putus?”
Bagas meremas kedua tangannya, seperti sedang menahan sesuatu yang sudah lama ia simpan.
“Maaf, Almira. Tapi aku merasa hubungan kita… aneh. Sudah lama.”
Almira diam, membiarkannya melanjutkan.
“Aku merasa kamu tidak pernah membutuhkanku. Kamu bisa melakukan semuanya sendiri. Kamu nggak pernah meminta bantuan. Sebagai laki-laki, aku merasa… tidak punya tempat.”
Ia menunduk sebentar, lalu kembali menatapnya dengan sorot mata penuh kecewa.