Ketika Langit Tak Lagi Memelukmu

Dyah
Chapter #3

Chapter 3 - Saat Dunia Terus Berjalan

Sudah berbulan-bulan sejak Almira mulai mengirim lamaran pekerjaan ke berbagai perusahaan. Puluhan email penolakan datang silih berganti, meninggalkan jejak rasa kecewa yang kian menumpuk.

Ia tidak mengerti. Lima tahun pengalaman kerja yang ia miliki, karier yang dibangun dengan kerja keras, dan pencapaian yang seharusnya menjadi nilai lebih—apakah semua itu belum cukup untuk memenuhi kriteria perusahaan?

Tak hanya itu, ia juga lulusan universitas ternama di negeri ini, dengan catatan akademik cemerlang sejak sekolah menengah. Gelar S2 dalam Bisnis Internasional seharusnya menjadi modal kuat, namun kenyataannya, semua itu tampak tak berarti di mata HRD yang menolak berulang kali.

Setiap surat penolakan seperti menyalakan ulang rasa putus asa di dadanya, membuat Almira mempertanyakan kembali kemampuannya. Bagaimana mungkin, pikirnya, segala yang telah ia capai—kerja keras, dedikasi, kecerdasan—seolah tak cukup untuk membuka satu pintu kesempatan pun?

Di sela-sela frustrasi itu, Almira menatap CV-nya yang rapi di layar laptop. Ia tahu, secara profesional ia memenuhi semua syarat. Namun dunia nyata terasa jauh lebih kejam daripada teori manajemen atau buku strategi yang selama ini ia pelajari.

Di hatinya, muncul satu pertanyaan yang terus berulang: apakah ia akan mampu bangkit lagi, membuktikan nilai dirinya, atau akankah dunia terus menutup pintu satu per satu tanpa ampun?

[ ✧✧✧ ]

Almira menutup laptopnya dengan suara pelan, menarik napas dalam-dalam, dan memutuskan istirahat.

Ia melangkah masuk ke sebuah kafe yang terletak di jantung area perkantoran, mencari tempat untuk sejenak melarikan diri dari layar yang memancarkan serangkaian kegagalan.

Beberapa menit kemudian, Almira memasuki sebuah kafe kecil bernama Flavor Haven, tempat yang akhir-akhir ini sering ia singgahi untuk sekadar mengatur napas.

Aroma kopi Arabika dan wangi roti panggang langsung menyambutnya. Ia memilih meja di dekat dinding kaca, tempat cahaya matahari masuk lembut namun tidak menyilaukan.

Seorang barista menghampiri.

“Pesan sekarang, Mbak?”

Almira mengangguk.

Lihat selengkapnya