Almira merasa keputusannya untuk pulang ke rumah memang tepat. Udara desa yang sejuk, suara burung, dan aroma tanah basah membuatnya sedikit lega. Tapi, kenyataan baru mulai muncul setelah lebih dari sebulan ia tinggal di rumah.
Ia dan ibunya duduk di teras, menikmati angin dan suara pepohonan yang berdesir. Laila menatap Almira sambil menyesap tehnya. “Mir, kamu nggak apa-apa cuti lama begini? Bosmu nggak marah?”
Almira menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum berkata jujur. “Ibu… sebenarnya aku sudah nggak kerja lagi. Aku dipecat.”
Laila tersedak perlahan, hampir menumpahkan tehnya. “Loh… kok bisa dipecat, Mir?”
Almira menundukkan kepala, suaranya lirih. “Ada masalah di kantor, Bu….”
Laila menegakkan tubuhnya, cemas dan tak habis pikir. “Terus, kamu sudah coba melamar ke perusahaan lain?”
“Sudah… tapi ditolak terus, Bu,” jawab Almira, menunduk lagi.
Laila menatap putrinya, matanya melebar. “Kok bisa? Kamu kan lulusan terbaik dari universitas ternama, S2 lagi… masa perusahaan-perusahaan di Jakarta nggak ada yang mau terima kamu?”
Almira hanya diam.
“Terus gimana dengan biaya kuliah Satya dan Ratih kalau kamu nggak bekerja? Masih dua semester lagi loh. Belum lagi Alfian tahun depan mulai kuliah. Terus siapa yang mau bayar semua itu?” Laila menambahkan dengan nada tegas.
Almira menatap ibunya, kecewa dengan respon ibunya. “Loh… kok ibu ngomongnya gitu?”
“Ya terus kamu mau Satya dan Ratih berhenti kuliah? Mau ngandelin warung dan uang pensiunan bapakmu? Itu cuma cukup buat kebutuhan rumah sehari-hari!” Laila menatap Almira tanpa berkedip, napasnya naik-turun menahan emosi.