“Gimana, Mir? Kamu sudah pilih formasinya di mana?” tanya Laila suatu sore, seminggu setelah pembicaraan tajam mereka di ruang makan.
Almira menghela napas panjang. Pertanyaan itu sudah ia duga akan datang lagi, dan setiap kali membahasnya, dadanya terasa menegang.
Sejujurnya, ia sama sekali tidak berminat menjadi PNS. Itu bukan dunia yang ingin ia jalani. Tapi kondisinya sekarang… ia juga tidak berani menolak keinginan orang tuanya. Ia sedang menganggur, dan namanya tercoreng akibat isu pengkhianatan yang bahkan bukan ulahnya.
Meskipun ia sudah menjelaskan dengan bukti-bukti kuat bahwa ia tidak pernah membocorkan data perusahaan ke kompetitor, tetap tidak ada perusahaan yang mau menerima seseorang yang dicap sebagai pengkhianat. Reputasinya hancur, dan industri yang ia geluti tidak memberi ruang kedua.
“Aku milih formasi di kementerian, Bu,” ujar Almira akhirnya.
Laila spontan menatap putrinya dengan raut ragu dan sedikit cemas. “Di kementerian? Kamu yakin, Mir? Saingannya itu banyak sekali… se-Indonesia. Kalau kamu pilih formasi kabupaten sini, paling saingannya cuma orang-orang daerah ini saja.”
Ia melanjutkan, suaranya lebih lembut namun penuh kekhawatiran, “Bukannya ibu nggak percaya sama kamu. Ibu tahu kamu pintar. Tapi peluang lolos itu kalau bisa ya diperhitungkan juga. Ibu takut kamu nggak lolos.”
Almira menelan ludah. Ia sudah mempelajari informasi terkait formasi daerah yang dimaksud ibunya. Namun semakin ia membaca, semakin dadanya terasa sesak. Penempatan di daerah terpencil, akses air yang sulit, jaringan internet yang lambat, fasilitas publik minim. Jika lolos di sana, ia harus tinggal minimal sepuluh tahun sebelum bisa mengajukan pindah.
Ia yang sudah belasan tahun hidup di kota besar, bekerja di gedung-gedung bertingkat, terbiasa dengan ritme cepat dan fasilitas lengkap… membayangkan hidup di desa terpencil saja membuatnya pusing.
Almira menatap ibunya dengan senyum kecil yang dipaksakan. “Bismillah aja ya, Bu. Ibu sama Bapak doain saja supaya Almira lulus.”
Laila tidak langsung menjawab. Ada jeda kecil, seolah ia menimbang antara kekhawatiran dan keinginannya untuk mendukung. Akhirnya ia mengangguk pelan, meski jelas terlihat ia masih belum sepenuhnya yakin.
“Ya sudah… ibu doain yang terbaik, Mir,” ucapnya lirih.
Almira tersenyum, namun hatinya bergetar. Keputusan ini berat—bukan hanya soal formasi, tapi tentang seluruh masa depan yang terasa semakin rumit. Namun untuk saat ini, inilah langkah yang bisa ia ambil.
Setelah ibunya mengangguk pasrah, Almira kembali ke kamar dengan perasaan campur aduk. Kamar kecil itu terasa lebih sempit dari biasanya. Di meja belajarnya, tumpukan map, fotokopi ijazah, transkrip nilai, serta syarat-syarat berkas CPNS yang harus ia unggah sudah menunggu.
Ia menarik kursi dan duduk perlahan. Layar laptop menyala, menampilkan halaman pendaftaran CPNS yang tak kunjung selesai ia isi. Jari-jarinya bergerak ragu.
Setiap kolom biodata terasa seperti pengingat bahwa ia sedang mendaftar pekerjaan yang bukan ia inginkan.
Suara ketukan pintu mengagetkannya pelan. Alfian, menengok dari celah pintu.
“Mbak… nggak istirahat dulu? Dari tadi sore belum keluar kamar,” tanyanya pelan.
Almira memaksakan senyum. “Nggak apa-apa, Fian. Mbak masih ngerjain berkas.”
Alfian melangkah masuk, duduk di tepi ranjang. Ia menatap Almira lama, sebelum berkata lirih, “Mbak… kalau Mbak nggak mau daftar CPNS, nggak usah dipaksain juga.”
Almira tersentak kecil. Kata-kata itu seperti oase setelah berhari-hari ditekan rasa bersalah.
Namun ia hanya menggeleng. “Mbak harus coba dulu, ya.”
Alfian terdiam. Ia tidak memaksa. Ia tahu betul bagaimana Mbaknya sejak dulu—kalau sudah memutuskan sesuatu, sekalipun berat, ia akan tetap menanggungnya.
Setelah Alfian keluar, Almira kembali menatap laptop. Ia mengunggah satu berkas, lalu menghela napas panjang. Tangannya gemetar sedikit.