Udara masih dingin dan sedikit berkabut ketika Almira membuka pintu warung kecil milik keluarganya. Warung sederhana yang menempel di bagian depan rumah itu selalu ramai setiap pagi—ibu-ibu datang silih berganti membeli kebutuhan dapur sebelum berangkat ke sawah atau mengurus rumah.
Belum lima menit ia duduk di kursi kecil di balik meja, suara riuh khas ibu-ibu sudah terdengar.
“Eh, Bu Nurmi! Pagi-pagi sudah nongol aja,” sapa seorang ibu berkerudung merah dengan daster ijo toska bermotif bunga besar—Bik Yati.
“Iya, buk. Stok dapur kosong. Mau ke pasar malas jalan kaki,” jawab Bu Nurmi, yang hari itu memakai daster panjang motif batik parang warna cokelat kekuningan.
“Ih sama, buk. Mau minta anter bapaknya anak-anak, eh dia udah duluan ke sawah. Beginilah nasib ibu-ibu yang nggak bisa bawa motor.”
Keduanya tertawa lebar, membuat suasana warung menjadi hangat dan riuh.
“Wih, rame bener pagi-pagi. Baru buka sudah cekikikan aja.” Bu Janah muncul sambil membawa tas jinjing kain.
“Hehe, iya Bu Janah. Mau belanja apa?” tanya Bu Nurmi ramah.
“Mau beli sayur sama tahu, Bu.”
Bu Janah mengambil seikat kangkung dan satu bungkus tahu, lalu menyerahkannya ke Almira. “Ini ya, Mir.”
“Totalnya lima ribu, Bik.”
Almira memberikan kresek kecil.
“Saya duluan ya, ibu-ibu. Masih mau ke sawah lagi,” ujar Bu Janah yang kemudian berlalu.
Begitu Bu Janah pergi, Bu Nurmi berbisik, ““Eh buk, lihat deh. Si Bu Janah itu masa tiap hari kangkung sama tahu melulu. Kasihan suami sama anaknya,”
“Iya loh buk, kemarin juga belinya itu-itu aja. Duh, kalau suami saya sehari nggak makan ikan, protesnya panjang!” sahut Bik Yati.
“Sama. Anak saya juga kalau nggak ada ayam, mogok makan.” Bu Nurmi terkekeh bangga.
Almira hanya diam memperhatikan, mengusahakan senyum sopan. Percakapan seperti ini biasa terjadi—gosip kecil, saling banding, saling memuji keluarga masing-masing.
Tiba-tiba Bu Nurmi menoleh, seperti baru sadar siapa yang sedang melayani mereka.
“Eh, Almira! Pantesan dari tadi kok lebih cakep yang jaga. Saya nggak sadar kalau kamu, Mir,” ujarnya sambil tertawa.
“Hehe… iya, Bik,” jawab Almira ramah.
“Kamu apa kabar, Mir? Sudah lama banget nggak lihat kamu.”
“Alhamdulillah baik, Bik.”