Ketika Langit Tak Lagi Memelukmu

Dyah
Chapter #11

Chapter 11 - Di Tengah Pameran Kehidupan

“Ibu, aku jaga warung saja ya. Ibu sama Bapak saja yang pergi ke acara lamarannya Saras.” Suara Almira pelan, hampir seperti memohon.

Hubungan Almira dengan kedua orang tuanya memang kembali “biasa.”

Biasa dalam arti… mereka kembali berbicara seperti tidak pernah ada kata-kata yang menghancurkan di antara mereka.

Seolah tidak pernah ada ucapan durhaka,

Tidak pernah ada tuduhan bahwa hidupnya hancur,

Tidak pernah ada bentakan yang menusuk seperti pecahan kaca.

Seolah yang terjadi di ruang makan itu hanyalah mimpi buruk yang harus Almira lupakan sendiri.

Tapi Almira tahu—ia sudah sangat paham siklusnya.

Orang tuanya akan meluapkan emosi, menghujani dirinya dengan ucapan yang membuat dadanya remuk…

Lalu esok harinya, mereka bersikap baik-baik saja.

Seolah ia wajib memaafkan.

Seolah ia tidak boleh marah.

Seolah itu semua hal yang lumrah dilakukan kepada seorang anak.

Siklus yang sama… berulang lagi.

Laila menggeleng tegas, tak memberi celah. “Nggak bisa. Kamu harus ikut. Masa keluarga kita datangnya nggak lengkap? Nanti Uwakmu ngomong macam-macam kalau kamu nggak datang.”

Almira menunduk lesu. Bukan karena ia tidak ingin pergi. Sebenarnya menghadiri acara lamaran sepupunya bukan masalah besar baginya.

Yang membuatnya ingin diam di rumah adalah sesuatu yang lain.

Ia tahu persis bagaimana acara keluarga besar selalu berjalan.

Setiap uwak dan bibi akan bergantian memamerkan pencapaian anak masing-masing—pekerjaan, rumah, pasangan, jabatan, gelar—apapun yang bisa dibanggakan. Tidak ada yang salah dengan itu, memang. Tapi…

Ketika giliran Almira tiba, ketika semua pasang mata beralih menatapnya—

Di situlah dadanya mulai tercekik, seakan beban pertanyaan-pertanyaan itu menekan tiap inci dirinya.

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu datang bertubi-tubi:

“Kamu kerja di mana sekarang, Mir?”

“Kapan menyusul menikah?”

“Katanya kemarin ikut CPNS, kok nggak lolos?”

“Kamu kok di rumah terus?”

“Kamu kan paling pintar, kok malah begini?”

Pertanyaan yang terdengar sederhana. Tapi bagi Almira yang sedang berusaha bertahan, setiap kata bisa terasa seperti golok yang menebas pelan-pelan.

Ia tidak takut datang.

Ia hanya… lelah.

Lelah menjadi satu-satunya yang tidak punya “kabar baik” untuk dibagikan.

Lelah menjadi perbandingan.

[ ✧✧✧ ]

Almira dan keluarganya tiba di depan rumah Uwak Nur ketika matahari mulai meninggi. Rumah itu sudah dipasangi tenda kecil berwarna krem di halaman depan, dengan kursi-kursi plastik berjejer dan suara riuh tamu yang saling menyapa. Bau harum masakan dari dapur bercampur dengan wangi bunga melati yang digantung di pintu rumah.

Begitu memasuki ruang tamu, Almira langsung disambut pemandangan yang sudah sangat ia kenal: kerabat yang duduk berkelompok, ibu-ibu sibuk mengatur hantaran, dan sepupu-sepupunya yang berdandan cantik dengan kebaya warna pastel.

“Mba Almiraaa!” Saras melambai dari dekat pintu kamar, wajahnya berseri-seri. Kebaya dusty rose yang ia pakai tampak selaras dengan rona bahagianya.

Almira tersenyum kecil dan menghampiri. “Kamu cantik banget, Ras.”

Saras memeluknya erat, tubuhnya sedikit bergetar. “Aduh deg-degan, Mbak. Lihat nih, tangan aku dingin semua.”

Belum sempat Almira membalas, suara salam dari luar rumah terdengar sahut-menyahut.

“Assalamu’alaikum…”

Itu tanda rombongan mempelai pria sudah datang.

Ibu-ibu langsung bangkit, bapak-bapak menyambut penuh hormat. Suasana berubah lebih formal, namun tetap hangat dan penuh antusiasme.

Almira dan Saras menoleh bersamaan ketika rombongan memasuki rumah.

Beberapa pria membawa dulang berisi hantaran—buah-buahan tersusun rapi, kain jarik, perlengkapan salat, dan sebuah kotak perhiasan berhias renda putih.

Di tengah rombongan itu, Dimas berjalan bersama kedua orang tuanya.

Ia mengenakan batik biru tua, rambutnya disisir rapi, wajahnya berusaha tenang meski sorot matanya jelas menyimpan gugup.

Saras menahan napas, pipinya memerah.

Setelah rombongan duduk dan suasana mencair, Saras menggandeng Almira mendekat sedikit.

“Mas Dimas,” ujar Saras, “ini Mbak Almira, sepupuku.”

Lihat selengkapnya