Ketika Langit Tak Lagi Memelukmu

Dyah
Chapter #12

Chapter 12 - Lelah Dibandingkan—Aku Bukan Saras

“Aku kesal sekali sama mbakmu itu, Pak. Masa sepanjang acara dia muji terus anaknya si Saras karena bisa dapat calon suami yang mapan,” gerutu Laila dengan nada jengkel. Sejak pulang dari acara lamaran Saras, ibunya belum berhenti ngomel.

“Kan kamu sudah tahu tabiat mbak Nur, ya nggak usah disimpan dalam hati,” jawab Hamid. Awalnya ia tenang mendengar keluhan istrinya, namun semakin lama, omelan Laila yang tak henti-henti membuatnya ikut jengkel juga.

“Ya gimana aku nggak kesal! Dia terus-terusan muji calon mantunya yang spesialis itu. Belum lagi ngebandingin Saras sama Almira. Katanya dulu aku terlalu ngekang Almira, makanya hidup Almira begini!”

Hamid menggeleng-geleng, lalu memutuskan ke luar dari rumah, memilih menghindari percakapan yang semakin panas.

Almira, yang mendengar dari dekat, ikut merasa lelah. Ia menarik napas pelan.

“Ibu… emang aku ini kenapa, Bu? Aku kan baru dua bulan nganggur setelah lima tahun kerja terus. Kalau soal jodoh, nanti juga datang kalau waktunya sudah tepat.”

Laila langsung menatapnya tajam, mencondongkan tubuh seolah Almira baru saja mengatakan sesuatu yang keliru besar.

“Kamu masih belum sadar, ya, Mir. Ibu sampai dibicarain gitu sama bibi-uwakmu gara-gara kamu nggak pernah nurut kata ibu. Dulu ibu nyuruh kamu masuk kedokteran, tapi kamu malah pilih jurusan… ya itu, yang nggak jelas. Kalau kamu nurut, mungkin sekarang bisa punya calon dokter spesialis kaya Saras juga.”

Almira menghela napas panjang, rasa lelah menumpuk di dadanya.

“Ibu… gimana aku bisa jadi dokter kalau lihat darah saja aku bisa pingsan?”

“Ya kalau dijalani terus, nanti terbiasa, Mir. Kamu itu sudah pesimis duluan. Kalau takut, harusnya lawan rasa takutmu itu.”

“Aku sudah coba, Bu… tapi tetap saja aku takut,” Almira berusaha menjelaskan dengan tenang. “Ibu kan tahu sendiri, waktu aku jatuh dari sepeda dan lihat darahku sendiri, aku langsung pingsan. Lagian… aku memang nggak berminat jadi dokter.” Suaranya lembut, mencoba memberi pengertian.

“Itu karena kamu lemah, Mir. Nggak punya nyali. Saras aja bisa, masa kamu nggak bisa?” Laila mengibaskan tangan, seolah argumen Almira tidak ada artinya. “Lihat kan akibat keras kepalamu sendiri? Hidupmu jadi nggak jelas begini.”

“Ibu!” suara Almira meninggi tanpa ia sadari. Tangannya bergetar. “Cukup, Bu. Aku bilang cukup!”

Laila terperanjat. “Kamu… ngebentak ibu?”

Lihat selengkapnya