Hari-hari Almira terasa berjalan tanpa bentuk.
Sudah berminggu-minggu ia mengurung diri di kamar—menatap langit-langit, membuka ponsel hanya untuk menutupnya lagi, lalu membukanya lagi.
Instagram menjadi satu-satunya jendela tempat ia melihat dunia terus bergerak… tanpa dirinya.
Jempolnya menggulir layar pelan.
Story pertama:
Foto seorang teman mengenakan blazer elegan di sebuah ruangan kaca tinggi.
“Promoted to Manager! So grateful!” disertai emotikon tepuk tangan.
Story berikutnya:
Pasangan tersenyum di depan Menara Eiffel.
“Finally our dream trip came true ❤️✨ #ParisDay1”
Story lain lagi:
Disebuah resto mewah—seorang pria berlutut, cincin berkilat.
Teksnya: “She said YES! 💍💕”
Lalu carousel foto:
Gaun pengantin, pelaminan megah, tangan yang kini bersatu dalam status baru.
“The beginning of forever 🤍 #JustMarried”
Dan yang terakhir…
Seorang teman berbaring di ranjang rumah sakit dengan perut besar, suaminya memegang tangan erat.
“Counting days to meet Baby #2 👶🏻✨”
Setiap postingan hanya membutuhkan sepersekian detik,
tapi tiap detik itu terasa seperti memukul ruang kosong dalam hidupnya.
Bukan…
Almira tidak iri.
Ia ikut bahagia untuk mereka—orang-orang yang pernah berjalan seiring dengannya waktu kuliah.
Yang sama-sama begadang mengerjakan tugas, yang sama-sama mengeluh soal skripsi.
Mereka kini berlari jauh ke depan.
Hanya saja…
Ada rasa getir yang sulit ia tolak.
Perasaan tertinggal.
Perasaan tidak cukup.
Perasaan… gagal.
Padahal ia sudah berusaha.
Ia mengirim lamaran ke banyak perusahaan, bahkan lebih banyak dari yang pernah ia lakukan sebelumnya.