Ketika Langit Tak Lagi Memelukmu

Dyah
Chapter #14

Chapter 14 - Tukang Keripik Ubi Berijazah S2

Cahaya matahari menyelinap lembut melalui celah gorden. Almira membuka jendelanya, menarik napas panjang, dan merasakan udara pagi pedesaan yang sejuk.

Aroma tanah basah dari sawah yang baru disiram embun, wangi bunga-bunga liar di tepi jalan, dan suara burung berkicau riang membuat suasana terasa damai, berbeda dengan hiruk-pikuk kota yang selama ini ia tinggalkan.

Almira berdiri di ambang jendela, menatap hamparan hijau yang menenangkan mata. Hatinya memang masih berat, namun pagi ini terasa berbeda. Setelah berminggu-minggu merasa tak berguna dan meluapkan segalanya dalam tangis lelah semalam, kini ia merasa cukup.

“Sudah waktunya bangkit,” bisiknya pelan, suaranya berpadu dengan gemerisik daun kelapa di luar.

Ia menatap meja belajarnya, buku target hidup yang selama ini menjadi saksi ambisi dan kekecewaannya masih tergeletak di sana. Ia menghela napas dalam-dalam. Semua rencana yang gagal, semua penolakan dari perusahaan, semua pintu yang menutup karena rumor—tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang.

Almira memutuskan, jika dunia kerja tak menerima dirinya, maka ia yang akan menciptakan dunia sendiri. Ia akan membangun usaha sendiri. Tidak di kota, tapi di desanya—tempat ia tumbuh, mengenal setiap wajah, setiap jalan, dan setiap potensi yang belum tergali.

Almira duduk di tepi ranjang, menyambar buku catatan kecil dan pena. Ia mulai memikirkan jenis usaha yang cocok dengan lanskap dan sumber daya Desa Tirlangit.

Ia bisa saja mencoba membuka warung kopi modern, tapi Tirlangit sudah penuh dengan warung kopi.

Almira menginginkan dampak yang nyata dan terukur. Ia mengamati sawah dan kebun Desa Tirlangit di kejauhan, mencari potensi unik yang bisa diangkat ke pasar luar. Dengan keahliannya di bidang Pemasaran Global, ia merasa ini adalah peluang pertamanya untuk benar-benar bangkit dan memberi kontribusi.

Setelah berpikir lama, Almira menggarisbawahi satu poin: Produk Pangan Lokal Unggulan.

Desa Tirlangit kaya akan hasil pertanian luar biasa—pisang tanduk, ubi ungu, mangga, dan sayuran organik. Namun, semua hasil itu selama ini hanya dijual murah ke tengkulak atau diolah sederhana.

Di sinilah Almira melihat peluang besar: mengubah bahan mentah menjadi produk olahan bernilai jual tinggi, yang jangkauan pasarnya melampaui batas desa. Proyek ini sekaligus menjadi jalannya untuk bangkit dan berkontribusi.

Pilihannya kemudian mengerucut pada dua produk utama: Selai Buah Tropis Premium dan Keripik Sayur Organik.

Memulai dengan produk olahan sederhana tidak membutuhkan modal sebesar membangun start-up teknologi. Ia bisa memulai dari dapur rumahnya, melakukan riset resep, dan menguji coba pasar kecil-kecilan.

Almira menutup buku catatannya. Senyum kecil yang sudah lama hilang kini muncul lagi.

“Aku akan buat Selai Mangga Cokelat Pedas dan Keripik Ubi Ungu Premium.”

Ide itu terasa liar, unik, dan yang paling penting: sepenuhnya milik Almira.

Ia telah kehilangan kariernya, tapi ia tidak kehilangan ilmunya. Ia kehilangan arah, tapi ia tidak kehilangan akarnya.

Almira menata rambut panjangnya di depan cermin, memastikan ia terlihat rapi dan profesional. Di tangannya, ia memegang buku catatan kecil—bukan lagi buku target hidupnya yang penuh ambisi korporat, melainkan catatan berisi data komoditas desa dan model bisnis sederhana yang akan ia kerjakan sekarang.

Dengan tekad baru, ia meraih kunci motornya. Targetnya hari ini jelas: menemui Pak RT dan beberapa petani yang ia kenal baik, untuk memulai riset.

[ ✧✧✧ ]

Almira melangkah keluar kamar. Rumah terasa sepi, karena Ibunya, Laila, sedang pergi ke rumah tetangga. Keheningan ini justru memberinya ruang untuk fokus.

Pak RT Sukri tinggal tak jauh dari rumah Almira, hanya tiga belokan ke arah timur. Rumah Pak RT selalu ramai, dikelilingi pagar kayu yang diselimuti tanaman rambat berbunga ungu.

Lihat selengkapnya