Ketika Legenda Kembali Lagi

Donny Setiawan
Chapter #4

Bab 4: Cindaku

Ketika Balin bangun ketika fajar, ia disuguhi minuman hangat di depan mejanya. Erin sudah tidak berada di tempat tidur. Ruoanya Balin bangun agak kesiangan.

Semuanya sudah siap pergi sementara Balin masih mengusap-usap matanya dengan kedua tangannya. Ketika ia selesai sarapan, ia dikejutkan dengan kehadiran dua pelayan.

Pelayan satu mencuci tubuh Balin dengan kain basah, pelayan dua memakaikan baju dan sepatu. Balin merasa ini berlebihan sehingga banyak penolakannya terhadap perlakuan begitu.

Di sebelah rumah, adalah bangunan rumah tua. Itu biasa dikenal sebagai rumah panjang. Semua orang berkumpul di sana setiap tahun untuk memperingati leluhur-leluhur mereka.

Sementara di seberang ada bangunan mesin kincir. Bangunan itu diperuntukan sebagai pembangkit listrik untuk sekitar Bithera. Dari utara sampai selatan, semua listrik bergantung padanya.

Lalu bangunan di belakang adalah tempat sakral orang-orang Grien. Di sana ada pohon suci yang dijaga ketat oleh warga sekitar. Tidak boleh sembarangan orang yang bisa masuk ke sana.

Ada beberapa bangunan terkenal di sekitar Bithera. Salah satunya bangunan rumah panjang. Di sana kerap mengadakan perkumpulan setiap tahun untuk memperingati para leluhur.

Kemudian tempat sakral di pusat bithera, yang dikenal sebagai 'pohon tertua'. Dari sana banyak peziarah dari luar daerah. Terkadang orang-orang Witters yang menganut kepercayaan yang sama ikut berziarah.

Dan dibiarkan berziarah karena Bithera merupakan kawasan bebas netral dari wilayah manapun. Informasi itu cukup membuat terkejut bagi Balin. Bisa-bisanya ada orang Witters yang turut ikut berziarah di tempat para Natyf ini.

Kemudian Balin diajak Rodit untuk berkeliling Bithera. Orang-orang sangat suka menyambut orang asing di sini. Balin merasa disambut hangat oleh orang-orang Grien.

Tak hanya itu, Balin bahkan sering ditawari untuk menginap di salah satu rumah warga. Namun Balin selalu menolak karena ia tak enak hati. Rodit menyilakan Balin mengeluarkan pendapatnya.

Tak pernah seumur hidupnya disambut begini. Bahkan untuk mantan narapidana begini. Atau ia tetap narapidana yang berhasil kabur. Hari rupanya begitu mendukungnya saat ini.

Balin diperkenalkan dengan petapa tertua di sana. Nama beliau Jelik. Seorang petapa tertua di Bithera. Petapa itu banyak menceritakan keadaan Bithera saat masa awal.

Kemudian Balin menimpali dengan masalahnya dengan kaum Witters. "Tak pernah aku memiliki masalah dengan kaum witters, Nak," balas pria itu.

Kemudian Rodit mengantar perbincangan mengenai kegusaran orang-orang Herat. Pria itu prihatin mendengar Rodit bercerita. Balin pun turut bersedih dengan kegusaran yang dikatakan.

Setelah itu mereka berpisah. Ada rasa sedih dalam dada Balin mengetahui kegusaran kaum Natyf yang hidup di wilayah Witterstein.

Rodit membawa Balin menuju salah satu pohon sakti terkenal yang ada di Bithera. Pohon itu diberi nama i-narn-Bhre. Atau pohon bangsawan. Meski namanya terdapat 'Bangsawan', bukan berarti pohon tersebut milik seorang bangsawan.

Ketika melihat dari kejauhan, Balin tertarik dengan ornamen hiasan yang menyelimuti pohon tersebut. Ada kotak-kotak berwarna hitam putih, merah bertemu kuning mencolok.

Ketika mendekat, rupanya pohon itu tak hanya agung, melainkan indah. Ada aroma kemenyan di sekitar pohon dan suara-suara para peziarah yang sedang memuja-memuji pohon tersebut.

Balin heran dan ingin bertanya kepada Rodit, namun ia dibuat kagum ketika Rodit mengatakan "Jangan sembarangan menginjakkan kaki di sekitar kawasan pohon suci.

"Karena pohon suci haruslah tetap suci dari para sekedar pelancong," Ia kemudian menyuruh Balin membuka alas kakinya. Erin menunggu di kejauhan, sementara mereka berdua menghampiri salah satu peziarah.

Peziarah itu tampak kalem dan lembut. Ketika ditanya berbagai hal oleh Rodit, peziarah itu memerhatikan Balin dari atas sampai bawah dengan wajah keheranan.

Matanya mengilat dan ia sempat memperlihatkan sikap tidak sukanya kepada Balin. Kemudian Rodit kembali meyakinkan dengan kata-kata manisnya.

Tak lama, peziarah itu setuju dan memperbolehkan Balin masuk ke area sakral. Dengan tatapan tajam, peziarah itu menjauhi Balin dan Rodit.

Aroma kemenyan semakin menusuk hidung ketika Balin masuk ke pelataran sesembahan pohon suci. Rodit berada di depannya dengan harap cemas.

Entah apa yang membuatnya cemas, itu merupakan teka-teki bagi Balin. Rodit mencari tempat duduk untuk mengobrol. Ia memilih bagian pojok tempat itu.

Dan di sana ia mulai pembicaraannya dengan wajah serius. Sekali ini Balin diajak berbicara serius empat mata begini.

"Inilah saatnya," kata Rodit. "kukatakan dengan serius dan tidak ada maksud berguyon."

Balin tersipu menunggu pernyataan Rodit, seperti ingin meletus dalam gunung.

"Masalah ini harus segera dituntaskan. Dan aku tak mau berlama-lama mengulur waktu. Mungkin ini waktunya," Rodit bersimpuh di hadapan Balin dengan kepala menunduk.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Balin. "Bangun kau, manusia!" tapi Rodit tetap tak bergerak dan menciumi kaki Balin.

Balin perlu penjelasan lengkap mengapa ia diperlakukan seperti itu di tempat suci ini. Para peziarah melihat tingkah laku Rodit dan memilih untuki pergi meninggalkan pohon suci.

"Ada apa denganmu? Hei!" sergah Balin. Rodit masih tetap menciumi kaki. Kalau ia menghargai Balin, tak perlulah sampai bertindak demikian untuk Balin.

Kemudian, Rodit kembali berdiri dengan menunjukkan wajah puas sekaligus gerah. Balin menunggu penjelasan kepada Rodit.

"Ribuan tahun, kaum Natyf menunggu kedatanganmu, wahai sang Holodaris," ucap Rodit. Balin merasa ia bermimpi dan mulai mendengar sayup-sayup rapalan Rodit di hadapannya.

"Ini bukan mimpi. Ini kenyataan," sambung Rodit. "Aku dan masyarakat natyf sudah menunggu kedatanganmu. Sekarang di sini. Dan sungguh kau sudah dipilih untuk kami."

"Aku tidak mengerti maksudmu apa, Rodit," kata Balin. "Aku di sini karena kau yang menyelamatkanku."

"Sungguh, kau tidak mengetahui apa yang sebetulnya, Tuan," balas Rodit kaku.

"Kenapa aku bisa tidak mengetahuinya? Sementara jelas, kau yang membawaku ke sini," sambung Balin.

Rodit mencoba menjelaskan untuk pengertian kedua belah pihak.

"Maksud dari kami menunggu tuan hampir seribu tahun, dari situ tak ada lagi Holodaris."

"Tunggu sebentar," potong Balin. "Dari mana kalau kau tahu aku ini si Holodaris? Apakah ada tanda-tandanya?"

"Jelas kami sudah mencari jauh sebelum nenek-moyang kami. Kami mengetahui engkau sang Holodaris dari darah terakhir keturunan engkau."

Lihat selengkapnya