Ketika Legenda Kembali Lagi

Donny Setiawan
Chapter #6

Bab 6: Vumyor Alaik

Semuanya bersiap. Asgartia di depan mata mereka. Hanya Balin yang masih bergulat dengan dirinya sendiri: melakukannya sekarang atau nanti ketika ada kesempatan lain.

Balin juga tak mau meninggalkan orang-orang yang tak berdosa ini menuju ke kematian mereka. Intinya, Balin berpikir bagaimana caranya orang-orang yang mengikutinya tak jadi ikut berperang.

Berbeda dengan Rodit yang sangat antusias terhadap apa yang didapatkannya: sang holodaris, pengikut, dan perang. Ini sangat membuat Balin frustrasi.

"Besok subuh kita berangkat ke medan perang!" seru Rodit. Semuanya bersorak sorai.

"Hidup Holodaris, Hidup Holodaris!" teriak mereka.

Balin tak bereaksi berlebihan. Ia hanya diam terpaku dengan apa yang terjadi kepada dirinya. Rodit menganggap dirinya adalah seorang pemalu, maka tak heran ia selalu berkata atas nama Balin.

Malam begitu sunyi saat itu. Sampai-sampai suara jangkrik malam memekik di telinga Balin. Begitu kesunyian yang begitu kencang. Balin mempersiapkan apa-apa yang menjadi persediaannya.

Malam itu Balin tak bisa tertidur. Ia memikirkan cara-cara apa saja untuk kabur dari rombongan. Namun, sekali lagi, ia tak mau meninggalkan orang-orang tak berdosa mati hanya karena kesia-siaan.

Maka dari itu, untuk kesekian kalinya Balin mengurung niatnya. Ia hanya memandangi langit yang terbuka lebar di atas. Bintang-bintang ramai di sana.

Hati Balin sedikit terhibur. Ia rela terjaga sampai pagi kalau terus begini. Rodit sudah berkali-kali menyuruhnya untuk tidur. Tapi, entah mengapa, Balin masih tak mau tertidur.

Sampai subuh ia terjaga. Matahari sebentar lagi terlihat, dan Balin masih memandangi langit yang menuju merah merekah. Ini baru pertama kalinya ia memerhatikan detail keadaan sekitarnya.

Ketika semua sudah terbangun, Rodit menyerukan persiapan menuju perjalanan menuju ke Asgartia. Ia juga berhati-hati dalam berbicara. Saat itu kumpulan anak muda jalan lebih awal.

Disusul dengan orang yang lebih dewasa. Erin masih bersama Balin, mungkin untuk mengawasi atau bahkan melindungi Balin dari serangan musuh.

Meninggalkan Atheria di belakang, tubuh Balin semakin tak keruan untuk gelisah. Entah apa yang digelisahkannya, namun mungkin karena niatnya untuk kabur sangat kuat.

Dan juga ketakutan meninggalkan orang-orang berdosa dan juga terpikirkan peringatan Cinukil masih berputar-putar di kepala Balin sampai saat ini.

Maka ia berjalan sambil setengah sadar. Entah ia akan berakhir seperti apa. Niatnya ingin kabur selalu dipatahkan oleh Rodit yang pintar dalam berbicara.

Setengah perjalanan begitu panjang bagi Balin saat itu. Pedang yang ada dipinggulnya kini terasa lebih berat lagi. Kepalanya berkecamuk bagai belukar yang mencari akarnya.

Balin jalan agak melambat agar tak berbarengan dengan Erin di depannya. Begitu sadar, Erin juga melambatkan jalannya. Ini sudah menjadi tanda bahwa Balin sedang diawasi.

Gawat dalam hati Balin. Ia memang benar-benar harus mencari cara untuk bisa kabur. Kalau peringatan Cinukil benar adanya, bisa-bisa ia juga menjadi korban dari semua ini.

Sebuah kesadaran baru saja tumbuh di dalam diri Balin. Ia mengetahui bahwa ia akan dibawa ke sebuah kematian. Meski begitu, ia tetap mengikuti perintah dari Rodit.

Balin memang sudah dari dulu menjadi orang yang tidak enakan untuk bilang tidak. Ia, entah mengapa, selalu menganggap diri menjadi korban.

Bagi orang-orang di sekitar. Ini merupakan kelemahan terbesarnya dalam hidup. Meski tubuhnya kekar, dan pekerjaannya menempa senjata, tak membuatnya menjadi lebih berani.

Kesadaran di dalam diri Balin seperti baru terbuka matanya. Hitam gelap pekat masa depannya kini tercerahkan dengan kesadaran baru yang terlihat jelas.

Bahwa dirinya salah selama ini. Ia seharusnya mengurungkan ketersetujuannya dengan hal-hal yang berada di luar kehendak. Seharusnya ia bisa menggunakan kedudukannya untuk memanfaatkan kehendaknya.

Di tengah perjalanan yang pahit itu, Balin mencoba mencari jalan lain untuk meninggalkan rombongan.

Kira-kira sampai begitulah kesadaran Balin. Ia pada akhirnya sadar bahwa seharusnya yang ia lakukan adalah demi keselamatan dirinya. Balin menggunakan kedudukannya untuk memanfaatkan ini.

Di perjalanan, ia banyak merencanakan sesuatu. Kali ini harusnya ia bisa menyelematkan dirinya dari perang yang bahaya ini. Pikirnya nasib orang-orang di sekitar bukan tanggung jawabnya.

Namun, entah mengapa, hati Balin tetap tak ingin melakukan itu. Maka ia berkali-kali mengurungkan niat.

Tapi tidak, katanya. Ia harus berbuat sesuatun untuk dirinya. Untuk keselamatannya. Tanda-tanda yang dibeberkan Rodit sungguh merugikan Balin.

Ia sangsi akan kebenaran ramalan orang-orang Grien. Ia sangsi bahwa dirinyalah orang terpilih. Maka Balin berpikir ulang mengenai apa-apa yang terjadi belakangan ini.

Ia meninggalkan rumah, dituduh sebagai pembunuh, mendapat hukuman, selamat dari hukuman, dan sekarang menjadi orang terhormat di lingkungan asing.

Kalaupun ia mati, ia harus mati karena atas kemauannya sendiri. Bukan menjadi boneka bagi orang lain. Ia tak begitu mengenal Rodit dengan baik.

Yang ia tahu, mereka sama-sama tahanan Higbrid yang dituduh tanpa kejelasan. Hukuman Higbrid justru lebih masuk akal daripada hukuman sekarang ini.

Lihat selengkapnya