KETIKA MALAIKAT MENANGIS

Rizal Azmi
Chapter #1

WARNA HIDUP

Tuhan telah mewarnai kehidupan.

Tak ada yang bisa menebak teka-teki kehidupan. Hidup penuh dengan misteri. Karena, kehidupan memiliki awal yang berujung pada akhir penantian. Perjalanan nan panjang, berliku. Bagian dari warna kehidupan yang kontras dengan linang airmata, canda tawa, senyum, dan kesedihan. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh rakyat kecil, melainkan penduduk berkelas pun merasakannya. Sungguh misterius.

Kemajuan zaman tak terbendung lagi. Kecanggihan teknologi semakin spektakuler. Penelitian dan penemuan semakin didukung pemerintah demi perbaikan kehidupan di masa akan datang. Di kota atau di desa, tidak jauh berbeda. Ikut merasakan kemajuan. Jikapun masih ada yang terisolasi, itu lantaran, akses menuju ke sana masih sulit atau belum terjamah pemerintah. Sedangkan, dampak kemajuan zaman memperburuk moral dan etika manusia. Bahkan, sopan santun anak kepada orangtua semakin memudar. Hamil di luar nikah, hampir setiap desa menyapa. Kasus penemuan janin bayi, pembunuhan, dan pembuangan bayi, semua channel televisi menayangkan setiap harinya. Dampak kemajuan zaman sangat buruk jika tidak diimbangi dengan benteng agama yang kuat. Lebih buruk dari zaman dulu yang tidak memiliki akses secanggih saat ini.

Dinda, gadis berusia delapan belas tahun, salah satu korban dari jutaan anak di dunia yang mengalami hal tragis dalam perjalanan hidup. Ia adalah korban dibuang ayah dan bundanya ketika baru lahir di tempat sampah. Merah. Berlumur darah. Ari-ari pusat belum putus. Terbungkus rapi dalam kardus mie instan. Jika saja tak ditemukan pemulung pagi itu, diserahkan ke Panti Asuhan Mutiara Bangsa, mungkin saja ia tak bisa menatap dunia. Meninggal dengan cara tragis. Untungnya, tak hujan! Tak ada pula anjing yang berkeliaran di sana, pun tak dikerumuni semut. Allah masih menjaga dengan caraNya sendiri.

Tak semua anak mengalami nasib beruntung, bisa diselamatkan saat dibuang. Ada yang meninggal di tempat. Bahkan, ada yang tak berbentuk manusia lagi. Ia telah dimutilasi! Inilah wajah kemajuan zaman. Kembali pada masa jahiliyah tempo dulu.

Dengan wajah tak berdosa, perasaan tak bersalah, mereka rela membunuh darah daging sendiri. Suatu kenyataan yang mengguncang alam semesta. Mencoreng jati diri manusia yang sejatinya memiliki nurani. Kenyataan yang seharusnya bisa diatasi, membuat banyak orang bergidik, mendengar dan menyaksikannya. Padahal, pada hakekatnya, tak semua ibu memiliki kesempatan, bisa mengandung dan melahirkan dari rahimnya sendiri. Banyak di antara mereka, puluhan tahun menikah, mendambakan memiliki momongan, tetapi Allah belum mengijabah doa yang dipanjatkan setiap malam. Allah belum mengizinkannya.

***         

29 Agustus 2000. Sejarah kelam yang tak terlupakan. Dinda dibuang. Ia ditinggal begitu saja oleh ayah dan bundanya. Peristiwa yang sempat membakar amarah warga sekitar di tempat kejadian. Kenyataan yang sempat menggegerkan kota Sampit. Melukai kaum wanita yang ingin memiliki keturunan, namun divonis tak bisa memiliki momongan dari rahim sendiri untuk selamanya. Kenyataan yang mengubah nasib Dinda untuk selamanya. Mengajarkan arti kehidupan yang tak mengenal maaf. Berusaha mengikhlaskan takdir yang menghampiri. Memaafkan setiap kejadian dengan seribu hati. Menutup semua lembaran demi perdamaian hidup. 

Dunia tak pernah adil dalam perjalanannya. Seandainya Allah tak memiliki pengadilan akhirat, ke mana mereka yang tak mendapatkan keadilan harus mengharapkan pembalasan?! Hanya jerit dan rintihan yang selalu menemani, akibat ketimpangan sosial. Tertindas!.

Dunia tak jauh berbeda dengan mereka yang menyiksa setiap orang yang tak punya kuasa dan kedudukan. Bahkan, pada saat kondisi yang menyedihkan ini, jangankan sekadar membantu, malah dihujat sedemikian rupa oleh kebanyakan manusia.

Dinda terlalu kuat untuk menghadapi semua rintangan itu. Delapan belas tahun sudah, ia lewati semua ini dengan segudang cerita lara yang menghiasi hidup.

***

“Bunda!” ucap Dinda di sela-sela makan siang di dapur.

“Ya, kenapa?” Ibu Ismi bertanya kepada anak asuhnya tersebut sambil memperhatikan anak-anak asuh lain yang sedang menikmati makan siang.

“Aku… aku… aku….” kata Dinda, terbata-bata.

“Apa?”

“Mengapa Allah tega memisahkan kami dengan orangtua kami, Bunda? Apa salah dan dosa kami hingga mengalami semua ini? Hidup tanpa ada sayap-sayap yang kuat untuk mengitari dunia, bersama-sama menantang kekejaman dunia. Karena, dunia ini terlalu kejam bagi kami, kaum kecil. Wajar, banyak yang melakukan bunuh diri, karena ketidaksanggupan menahan beban yang aman berat. Hidup dipandang sebelah mata, bagaikan boneka dan wayang oleh mereka. Dengan sesuka hati, dipermainkan mereka yang berkedudukan. Aku ingin tak ada lagi yang seperti itu, Bunda,” ujar Dinda, dengan takut-takut, bertanya.

Lihat selengkapnya