Pertanyaan Dinda beberapa hari lalu membuat Bunda Ismi kepikiran terus. Apalagi, tidak semua masyarakat menyayangi dan mengasihi mereka. Pro kontra dalam kehidupan itu pasti ada. Begitu juga, dengan kehidupan mereka, anak yang termarjinalkan—dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Membuatnya merasa harus membela dan melindungi mereka. Karena, mereka juga manusia.
Pikiran Bunda Ismi semakin kalut tatkala sebuah televisi memberitakan penemuan bayi yang baru lahir pada salah satu toilet di mall yang ada di Sampit. Bunda Ismi terkulai lemas di tempat duduknya sambil membaca istighfar berulang kali.
Ustadzah-ustadzah yang berada di dekat Bunda Ismi terdiam, bungkam.
Pembunuhan bayi memang semakin merajalela.
Bunda Ismi tak mampu berdiri. Tak terasa, airmata tertumpah tanpa disadari. Mulut tak henti-hentinya mengucap istighfar. Wajah seketika berubah pucat. Membayangkan kejadian persis sama dengan yang dialami anak asuhnya, hanya berbeda tempat. Lengkap sudah beban pikirannya. Ia tak mampu menahan gejolak jiwa. Bunda Ismi jatuh dalam tangis.
Namun, itulah dunia.
Bagi Bunda Ismi, lebih baik bayi itu diserahkan ke panti asuhan atau ke orang yang ingin memiliki keturunan daripada dibunuh. Itu lebih mulia, walaupun sama-sama tak bertanggung jawab. Namun, setidaknya, kita membiarkannya hidup. Suatu saat, mungkin kita akan membutuhkannya. Karena, ia adalah anak, darah daging. Sembilan bulan lamanya mengandung, nyawa sebagai taruhan ketika melahirkan, dan masih banyak lagi derita yang dialami ketika mengandung.