KETIKA MALAIKAT MENANGIS

Rizal Azmi
Chapter #3

SEBUAH NILAI

Ayah, Bunda, aku ingin seperti mereka. Kalian selalu ada di sisi, hingga aku menikah nanti.

Hujan yang turun sejak pagi tadi, mulai menunjukkan tanda akan segera reda. Hanya gerimis kecil yang tersisa turun.

Tak berselang lama, hujan reda. Awan mulai terlihat bersih dari noda hitam yang sempat mewarnai. Genangan air terlihat jelas di mana-mana. Sampah berserakan, terbawa arus hujan yang lebat. Membuat area sekitar sekolah terlihat kumuh. Bau selokan tercium jelas jika angin menyapa dengan lembut.

Anak-anak berhamburan ke luar. Dengan wajah sumringah, mereka berlarian, tanpa menghiraukan genangan air yang membasahi baju, karena percikannya. Teriakan yang lain, malah membuat kelakuan mereka semakin menjadi. Terkadang, dengan sengaja, menyenggol, hingga anak yang lain jatuh, basah kuyup. Namun, di antara mereka, tak semua bahagia ataupun senang dengan semua itu.

Dinda terlihat murung. Wajahnya lesu, tak bersemangat untuk pulang. Semua terlihat jelas, tanpa ada yang bisa disembunyikan. Delapan belas tahun sudah Dinda terpisah dengan ayah dan bundanya. Tiga tahun sudah, ia bersekolah di situ. Ia juga ingin saat pembagian raport ayah atau bundanya yang hadir. Namun, apalah daya, impian itu harus dikubur dalam-dalam! Tak mungkin terwujud! Karena, sang ayah dan bunda pasti mengira, Dinda telah tiada setelah pembuangan dirinya hari itu.

Ya Rabb, mengapa kau izinkan aku terlahir ke dunia, jika akhirnya, keberadaanku tak diinginkan?! Mengapa mereka juga membuangku? Apa gerangan salah dan dosaku, hingga mereka tega melakukan ini? Mengapa tidak saat di kandungan saja, aku diaborsi? Ya Rabb, aku adalah satu dari jutaan anak yang mengalami ini di dunia, ratap Dinda dalam hati.

“Dinda, mungkin, kamu merasa sangat tidak beruntung, tak bisa menunjukkan kekuatan, karena kelemahanmu. Namun, pernahkah kamu merenung sejenak, karunia Allah untukmu, Sayang? Allah telah memberikanmu kekuatan dalam mengarungi dunia ini dengan sesuatu yang luar bisa. Allah telah mejadikanmu sebagai seorang anak yang mandiri saat anak-anak yang lain tak bisa melakukannya. Mereka manja dengan pelayanan ayah dan bundanya. Kemandirian sejak dini dan kesabaranmu yang begitu besar, akan menjadi pegangan erat dalam menatap masa depan. Seharusnya, kamu bangga dengan ini, Dinda Sayang! Saat semua anak terbuai dengan kemanjaan, semua serba dilayani, harus segera dan ada. Mengamuk sejadinya, berteriak dengan histeris yang tiada tara jika tidak dikabulkan. Namun, tanpa disadari, Anakku, Dinda, ketika Allah menjemput salah satu dari kedua orangtua, mereka akan jatuh terlalu dalam. Karena, mereka tidak siap ditinggalkan. Kebanyakan dari mereka, hancur tanpa sisa, Nak,” jelas Ibu Guru Tatik, yang paham tentang keadaan muridnya itu.

Dinda diam, menahan malu. Ia tetap berjalan, pelan sambil mengibas-ngibaskan rok yang basah, karena genangan air.

“Dinda, pulang bareng Ibu, yuk!” ajak Ibu Guru Tatik sambil merangkul pundak Dinda.

Setiap manusia, selalu Allah beri ujian untuk mengetahui kadar keimanan. Seperti halnya, dalam proses pembelajaran di sekolah, yang harus melewati ujian sekolah atau nasional untuk menentukan naik atau lulus dan tidaknya siswa tersebut. Ujian dalam hidup merupakan tanda kecintaan Allah kepada hambaNya. Allah ingin hambaNya tak bergantung kepada selain Dia. Termasuk, pada manusia yang tak memiliki daya dalam hal pertolongan. Bergantung dan berserah dirilah hanya kepadaNya! Tak hanya itu, kecemburuan Allah lebih indah dari kecemburuan manusia. KecemburuanNya sebuah kasih sayang yang agung, agar kita tak sedikit pun dalam hati mencintai yang lain, selain Dia. Oleh karena itu, pandanglah Allah dari semua sisi untuk mensyukuri seluruh karuniaNya yang Dia limpahkan—sebagai bentuk kemahaagungan atas kuasaNya! Dinda, kenapa diam, Sayang? Tidak mau pulang bersama Ibu ataukah Ibu ada salah kata?” kata Ibu Guru Tatik.

“Saya benci pada Ayah dan Bunda! Kenapa, sih, mereka tak menginginkan kehadiran saya? Ayah dan Bunda tega membuang saya!”

Mendengar ucapan itu, Ibu Guru Tatik terdiam. Tidak mampu membuka mulut, menjawab perkataan Dinda. Ia menyadari, anak seperti Dinda butuh proses panjang dalam memahami suratan takdir yang Allah tetapkan untuknya, hingga mengerti arti perjalanan hidup, warna kehidupan, dan proses yang berjalan.

Ibu Guru Tatik terhenti dari langkahnya, diam tanpa kata. Ia teringat pada berita yang menghebohkan, akhir-akhir ini. Semua media massa, menayangkan dan menyiarkan tentang tingkat kasus aborsi. Berdasarkan perkiraan yang dikeluarkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, ada sekitar dua juta kasus aborsi yang terjadi setiap tahun di Indonesia. Hal ini menunjukkan, setiap tahun ada dua juta nyawa yang terbunuh secara keji, tanpa banyak yang tahu. Menurut James K. Glassman dari The Washington Post pada tahun 1996, jumlah kematian akibat aborsi, jauh lebih besar daripada kasus lain. Sepuluh kali lebih banyak daripada jenis kematian karena kecelakaan, bunuh diri, ataupun pembunuhan di seluruh dunia. Didukung dengan hasil studi oleh WHO dan Guttmacher Institute yang menyatakan, setiap tahun terjadi sekitar lima puluh enam juta tindakan aborsi di seluruh dunia sejak tahun 2010 sampai 2014. Walaupun dalam kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir, di negara kaya, kasus aborsi mengalami penurunan yang sangat drastis. Berbeda, dengan negara berkembang dan miskin, yang meningkat tajam.

Seketika itu juga, Dinda dipeluknya dengan linangan airmata. Ibu Guru Tatik hanya diam, tak berkata apa pun. Apa maksud mereka hingga tega membuang anak kandung sendiri? batinnya.

Sepanjang jalan, Ibu Guru Tatik meneteskan airmata. Ia tak kuat, membayangkannya. “Dinda, jangan bilang begitu! Tidak boleh! Ayah dan Bunda sayang pada Dinda. Mereka tidak mungkin melakukan itu. Jika pun, ya, mereka berbuat, itu karena ada faktor lain yang memaksa. Semua sayang pada Dinda.”

“Pokoknya, saya benci! Benci pada Ayah! Pada Bunda! Mereka jahat! Lebih jahat daripada penjahat!” teriak Dinda serak, karena menangis.

Lihat selengkapnya