Pendidikan sekarang lebih cenderung ke bengkel keilmuan bukan moral. Sedangkan nilai pertama yang dipandang orang adalah moral baru ilmu.
Takdir penuh dengan misteri. Tak ada yang tahu ke mana arah mata angin kehidupan membawanya. Laksana karang yang selalu kuat, dihantam ombak—yang sebenarnya ia tak tahu, salah apa. Hingga ombak harus mengikis tubuhnya waktu demi waktu. Jika hidup tak memiliki rasa syukur dengan apa yang dianugerahkan, sebesar apa pun kenikmatan, tidak akan ada artinya, karena merasa kurang. Saat semua telah dicapai, duduk di atas puncak kejayaan, tetapi masih saja merasa kurang dan kurang, percayalah, kehancuran menunggu di depan mata! Sebagaimana kisah Qarun dan Fir’aun, yang keduanya abadi dalam tinta sejarah Islam.
Suasana panti asuhan yang tidak lepas dari lantunan kalam suci membuat siapa pun yang berada di sana merasa tenang dan damai. Jiwa terasa ringan, terlepas dari kebisingan dunia. Duduk bersama anak-anak yang sangat dicintai Rasulullah, shalawatan dan berdzikir bersama. Berbeda dengan Dinda dan Zaskia. Raut muka mereka tampak sedih. Kecewa berat. Semangat mereka pudar, bersama dengan hinaan yang sering datang tanpa mengenal perasaan kemanusiaan.
Dinda dan Zaskia yang sama-sama memiliki sejarah kelam dalam kehidupan. Dibuang. Kehadiran mereka yang tidak diinginkan merupakan dua dari jutaan manusia yang mengalami nasib serupa. Bahkan, ada yang lebih tragis lagi. Mereka tiada dengan cara dikubur dan dimutilasi.
Ucapan kasihan datang dari berbagai penjuru. Dari orang yang tidak dikenal sampai sok kenal dan sok dekat. Ikut merasa iba, menyumpah serapah terhadap kedua orangtua yang tega melakukan itu. Seiring perjalanan waktu, rasa kasihan itu memudar, berganti hinaan yang tak jelas ujung pangkalnya.
Ejekan itu semakin membabi buta. Berubah bak serigala yang siap menerkam mangsa tanpa ampun. Mereka dikucilkan dari lingkungan anak sebaya. Tidak boleh berteman dan mendekat pada anak-anak yang memiliki latar belakang kedudukan dan jabatan yang mumpuni. Diskriminasi sosial sangat rentan terjadi pada anak-anak panti asuhan dan kaum marjinal lainnya.
Dinda dan Zaskia harus menelan pil pahit. Terutama, Dinda yang masih bertahan bersekolah. Sedangkan Zaskia, memilih beristirahat, karena tidak kuat, menerima tekanan batin, akibat dikucilkan. Hanya karena tinggal di panti asuhan, mereka sering dibanding-bandingkan dengan yang lain. Efek dari kenyataan tersebut membuat pemerhati sosial sering geram.
Dinda sering menerima perlakuan kejam itu. Mungkin, tidak hanya Dinda, melainkan rata-rata anak panti asuhan di seluruh dunia bernasib sama. Bukan lantaran mereka tidak pandai atau sangat bodoh, melainkan karena faktor keadaan yang membuat mereka dijauhi. Sikap keegoisan diri kedua orangtuanya membuat mereka rapuh, harus menanggung beban seberat itu. Sebuah perjalanan yang tidak pernah diharapkan, apalagi terbayangkan.
“Din, terkadang, terbersit dalam hati untuk bunuh diri, karena benci terhadap keadaan,” ucap Zaskia.