KETIKA MALAIKAT MENANGIS

Rizal Azmi
Chapter #6

ILUSI BAGIAN II

Tidak ada kekuatan yang paling ampuh, selain pelukan ibu. Pelukan yang mampu membangkitkan semangat yang memudar setelah sekian lama disapu airmata kekecewaan. Ditambah dengan keputusasaan, sampai dengan kebuntuan akal atas beratnya beban yang dipikul.    

Waktu tak pernah berhenti menjalankan tugasnya. Berjalan tanpa pernah menengok kembali ke belakang. Bermula dari kisah Nabi Adam sebagai manusia pertama, hingga manusia terakhir, tanda berakhirnya kehidupan, semua terangkum dalam sejarah. Tercatat dalam bingkai. Bukti nyata sebagai wujud kita pernah ada di dunia, walaupun hanya sebentar.

Tak sedikit, sejarah perjalanan hidup yang diabadikan. Entah lewat diary, hunting foto sebelum diunggah ke media sosial, agar dunia tahu, ia pernah ke sini, seperti ini. Dari anak TK hingga yang tua-tua sudah bau tanah, eksis, memamerkan semua hasil perjalanan hidup. Tak ada rasa malu sama sekali! Pun, rasa berdosa, memikirkan bagaimana reaksi mereka yang tak merasakan hal sama. Itulah manusia! Selalu ingin dipuji, disanjung setinggi langit.

Dinda hanya bisa mencatat semuanya lewat lembaran buku. Setiap kerinduan dan kesedihan termuat dalam buku catatannya.

Dari semua doa yang kupanjatkan di penghujung shalat, tidak pernah tertinggal kerinduan untuk berjumpa. Meskipun, hanya sekali dalam hidup ini, setidaknya, aku tahu siapa orang yang telah berjasa besar, melahirkanku ke dunia. Namun, mengapa takdir belum berpihak? Jika ini yang terbaik. Lalu, mengapa harus ada media sosial yang selalu memperlihatkan unggahan mesra, keharmonisan mereka yang memiliki ayah, dalam dekapan ibu?

Dinda merenungi lagi foto yang baru saja dilihat di Facebook sebelum segera dilanjutkan curhatannya.

Masa depan bersinar cerah, karena pelukan hangatmu, Ibu. Terbentang bersama kerasnya perjuangan sosok ayah, yang rela membanting tulang, memeras keringat demi sang permata hati. Berusaha menjadikannya manusia sejati dan di setiap penghujung malam, selalu merintih, memohon kepada Allah, agar diberikan kemudahan dalam segala urusan di dunia maupun akhirat. Sebuah pengharapan yang agung.

Hidup akan terang dengan cahaya kasih sayang jika mereka selalu ada bersama kita. Mereka lentera hidup ini. Merekalah sepasang sayap yang dibutuhkan untuk terbang, melintasi dunia. Sepasang sirip dalam mengarungi luasnya samudera. Lalu, bagaimana jika anak-anak tak pernah memiliki kebersamaan itu?!

Seandainya boleh memprotes takdir, demi Tuhan, aku anakmu, Bunda, ingin berteriak lantang, melawan nasib. Mengapa ditakdirkan seperti ini?! Hidup tanpa kalian, bagaikan tinggal di dasar neraka. Tanpa tahu siapa Ayah dan Bunda, seringkali membuat lemah, tak berdaya. Tanpa kehadiran kalian, matahari seakan tak mampu menyinari jalanku dalam menata masa depan.

Tuhan, aku tak bisa berlarut dalam kekecewaan. Di saat rasa putus asa menguasai jiwa, Engkau memiliki cara lain, agar hidupku tak tersesat begitu jauh. Engkau telah mengirimkan secercah penerangan bagi masa depan yang tak ada kepastian. Berusaha kuat dalam melawan bisik-bisik dunia. Meskipun, secara biologis, mereka bukan orangtua kami, tetapi dalam setiap sujud, tersemat nama-nama kami dalam doa. Mereka ada, karena izinMu, Tuhan.

***

Tentu saja, ini bukan berbicara soal perasaan yang memiliki nurani. Ketika darah daging sejak keberadaannya tak dihiraukan, itu sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan yang kita hadapi dalam hidup. Justru, memicu permasalahan baru pada keduanya. Selain itu, di sinilah, tanggungjawab sebagai orangtua diuji di mata masyarakat. Perjuangan kita juga tak ada maknanya bila dalam hidup tak mempunyai keturunan. Anak adalah sebuah kebanggaan dalam berumah tangga, yang merupakan tolak ukur dalam merajut bingkai pernikahan.

Air mata Dinda kembali tertumpah, seperti kemarin-kemarin. Bedanya, kali ini, ditumpahkan butiran bening itu di atas sajadah. Bukan lantaran iri maupun dengki, bukan pula karena tak terima dengan keputusan Tuhan menakdirkan ia hidup seperti itu, melainkan rasa ketakutan yang mendalam atas dosa kedua orangtua. Dosa karena melalaikan amanah yang dititipkan untuk sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Kelak, mereka akan menjawab apa jika ditanya seperti itu.

Delapan belas tahun usia Dinda. Selama itu pula, ia tidak merasakan hangatnya pelukan ibu, pun belaian tangan sesosok Ayah. Bahkan, memandang lewat foto pun tidak pernah. Karena, tidak ada kenangan sedikit pun yang tersisa. Dinda merupakan satu dari jutaan anak yang mengalami hal itu. Bahkan, ada yang lebih tragis lagi! Ini terjadi, karena keadaan. Sekali lagi, nurani mereka tertantang untuk melakukannya. Hanya saja, keadaanlah yang memaksa.

***

Dinda melaksanakan shalat Dhuha bersama Zaskia, Ustadzah Muna, dan beberapa anak panti lainnya setelah selesai bekerja bakti, membersihkan halaman asrama.

“Dinda, jangan pernah lupa mendoakan Ayah dan Bunda! Allah sang pemilik, yang membolak-balikkan hati ini. Memohonlah kepadaNya, agar suatu saat engkau bisa diberikan titik terang mengenai keberadaan kedua orangtua, baik dalam keadaan masih hidup maupun sudah tiada,” kata Ustadzah Muna.

Dinda hanya menjawab dengan anggukan kecil. Matanya kembali meneteskan kristal bening yang mengalir deras di pipi mulus. Napas terdengar berat, seberat beban yang dipikul di pundak. Meski, ia merasa belum siap dan tak kuat menanggung, tetapi keadaan memaksanya harus sanggup.

Bunda Ismi adalah sosok wanita yang luar biasa mulia. Seorang ibu yang hebat. Ia ada dalam setiap keadaan dan situasi apa pun bagi anak didiknya. Dipeluknya Dinda dengan penuh kasih sayang. “Menangislah kepada Allah! Tumpahkan semua kepadaNya, Nak!”

Zaskia dan beberapa anak panti lain pun menangis dengan sesenggukan.

“Panggillah mereka lewat doa-doa kalian, Nak! Allah yang akan menyampaikan seluruh gemuruh kerinduan kalian. Allah yang akan menjadi jembatan, agar kerinduan kalian terhantar kepada mereka,” kata Ustadzah Muna. “Kalian ikhlas, Nak?”

Lihat selengkapnya