KETIKA MALAIKAT MENANGIS

Rizal Azmi
Chapter #8

KESOMBONGAN

Bagaimanakah kamu masih bisa sombong?. Sedangkan kamu jajan masih meminta dengan orang tua. Tahukah kamu bahwa yang kaya bukan kamu tapi orang tuamu.

Perjuangan hidup sangat berat. Kita tak mungkin bersandar pada tahta dan pangkat yang diduduki saat ini, karena setiap detik, kekuasaan itu terancam dilengserkan. Tak bisa juga bersandar pada harta yang bergelimang, sebab harta bisa habis, terbawa hawa nafsu dan keegoisan. Bahkan, tak boleh bersandar pada kepandaian belaka. Lantaran, kepandaian tak mungkin bertahan lama. Ada masanya kita tua, rambut memutih, tenaga berkurang, penglihatan buram, ditambah pikun, hingga tergeser oleh arus yang muda-muda, lagi energik.

Terkadang, kita ingin dihormati, dihargai, dan dipuji setinggi langit. Sedangkan, kita sendiri sering tidak menghargai orang lain. Menjatuhkan harga diri mereka di depan orang banyak. Meneteskan airmata orang lain tanpa ada rasa bersalah dan berdosa. Seringkali, kita tidak bercermin pada diri sendiri. Selalu mengukur diri benar dan benar. Orang lain salah dan di bawah kita.

Cuaca kota Sampit terlihat mendung sejak tadi malam. Awan semakin hitam menggulung-gulung, ditambah sekali-kali, terdengar suara guntur berbunyi nyaring, tanda tak lama lagi hujan akan tiba.

Gadis yang sudah berusia delapan belas tahun itu merindukan kehadiran ayah bunda. Ia sangat berharap, mereka akan datang, menengok, walaupun sebentar.

Sebenarnya, ia sudah putus asa atas semua yang menimpanya. Hanya saja, ia selalu teringat pada pesan Bunda Ismi kepadanya bahwa hidup harus bergantung kepada Allah, bukan pada manusia. Itulah yang memotivasinya.

“Din, enak, tidak, tinggal di panti asuhan? Kata orang, kalau tinggal di panti itu, disiksa terus. Makan cuma dua kali sehari. Itu pun, tidak ada sayur, hanya ikan asin. Kasihan amat hidupmu, Din!” kata Wendy saat melihat Dinda duduk di depan teras sekolah.

“Sudah dekil, bau lagi!” sambung Rita, santai.

“Bau? Memang bau apa, Rit? Pantas saja, dari tadi hidungku mencium aroma tak sedap! Seperti bau kambing,” sahut Wendy sambil tertawa, terbahak-bahak.

“Sumpah, menjijikkan! Aku tak sudi, dekat-dekat dengan anak gembel, sepertinya. Pantas saja, dibuang ayah ibunya! Penampilannya seperti gembel, sih!” ejek Rita lagi.

“Astaghfirullaah, Rita! Di mana hati nuranimu? Apa salah Dinda, hingga membuatmu tega, memperlakukannya seperti itu?” tegur Aida, yang baru saja datang ke sekolah.

“Apa, Bocah Tengik?! Jangan ikut-ikutan, deh, kamu! Sok alim di sini! Shalat juga belang kambingan! Hanya di sekolah saja shalat, di rumah memproduksi liur walet!” sambung Rita lagi, ketus.

Dinda hanya diam. Tak mau menjawab seluruh hinaan yang ditujukan pada dirinya. Hanya tetesan airmata yang mewakili semua.

“Aku tahu, maksud dan tujuan kalian berdua. Namun, asal kalian tahu, kami masih punya harga diri! Kami memang miskin dan Dinda tinggal di panti asuhan, tetapi itu hanyalah sebatas tatapan mata. Hati dan jiwa kami lebih kaya daripada kalian. Kalian tenar dan kaya, karena menumpang, ikut orangtua. Begitu saja, sombongnya minta ampun! Bagaimana kalau jadi presiden? Bisa-bisa, negara ini kalian buat jadi negara dengan sistem diktator,” sahut Aida sebelum menarik tangan Dinda, mengajak masuk ke dalam kelas.

Lihat selengkapnya