“Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,” ucap Ibu Guru Tatik.
“Wa’alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh.”
“Silakan baca doa terlebih dahulu sebelum memulai pelajaran kita pada pagi ini! Nabil, pimpin kawan-kawanmu berdoa!” pinta Ibu Guru Tatik.
“Nggih, Bu.”
“Marilah kita berdoa sejenak, menurut kepercayan masing-masing! Semoga kita semua diberikan ilmu dan rahmat oleh Allah! Berdoa, dimulai!” pimpin Nabil. “Berdoa, selesai!” ucapnya lagi setelah hening sejenak.
Seperti biasa, sebelum belajar, Ibu Guru Tatik memperhatikan muridnya satu-persatu. Memeriksa tas dan apa yang dibawa anak-anak didiknya.
Ia berjalan, menghampiri meja di mana murid-muridnya duduk. Ia memeriksa mulai dari belakang pada pagi itu. Dikontrol kolong laci yang biasanya dijadikan tempat sampah. Diperiksa kantong celana dan baju, terutama laki-laki yang suka menyimpan rokok.
Setelah memeriksa hampir seluruh murid, tibalah giliran terakhir. Giliran Dinda.
Dinda duduk di depan, paling ujung sebelah kanan.
“Dinda, silakan, keluarkan seluruh isi tasmu! Ibu mau lihat, Nak!” perintah Ibu Guru Tatik.
“Nggih, Bu,” jawab Dinda, yang terdengar jelas suaranya masih parau.
Mendengar ada yang aneh dari suara muridnya itu, Ibu Guru Anisa memandang seksama. Ia terkejut, mendapati mata Dinda tampak membengkak, sehabis menangis. “Kamu kenapa, Nak?” tanya Ibu Guru Tatik.
“Tidak ada apa-apa, Bu,” jawab Dinda.
“Kamu habis menangis lagi, kan? Apa yang ditangisi, hingga matamu terlihat sembab? Kamu bisa mengelak dengan berkata ‘tidak’, tetapi mata tidak bisa membohongi. Jawablah jujur, Nak, jika ada masalah!” sahut Ibu Guru Tatik.
Dinda terdiam. Bukannya tidak mau berkata jujur, melainkan ia tidak mau lagi memperpanjang masalah dengan menceritakan kejadian pagi tadi.
“Kamu habis di-bully lagi?” kata Ibu Guru Tatik, langsung.