Moral dan etika anak-anak zaman sekarang, sangat memprihatinkan. Salah didik anak, akan berakibat fatal untuk kurun waktu dua puluh tahun yang akan datang. Kemajuan zaman bukanlah suatu jaminan membuat anak-anak kita hidup lebih baik. Kemajuan teknologi tanpa didasari keimanan yang kuat, membuat mereka akan bersifat brutal, layaknya diktator.
“Sepertinya, mem-bully seseorang, bukanlah hal yang tabu saat ini. Apalagi, di media sosial! Dengan mudah, mereka membagikan kalimat-kalimat yang tak layak diunggah dan dilayangkan. Seakan-akan, mereka tahu pangkal permasalahan. Pun, menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Padahal, hanya ikut-ikutan, menimbrung. Tidak ada rasa belas kasihan pada orang yang di-bully. Apalagi, mereka yang di-bully ternyata seseorang yang introvert. Hal ini bisa mengakibatkan korban menderita post traumatic stress disorder (gangguan stress pascatrauma) berat, yang berujung pada bunuh diri, lantaran tidak kuat, menahan semuanya. Hidup ini terus berjalan, tak akan pernah kembali, walaupun hanya satu detik. Mungkin, hari ini kita berjaya. Duduk di atas singgasana yang mewah. Dilayani oleh semua orang. Tak ada yang berani membantah dan melawan kita. Namun, itu hanya hari ini! Tidak ada jaminan untuk hari esok. Bisa jadi, besok kita turun, menjadi miskin. Lebih miskin daripada orang yang kita rendahkan. Mungkin saja, kita orang paling kaya dan berkuasa, tetapi belum tentu orang yang paling berbahagia. Karena, kebahagiaan tidak bisa diukur dengan harta, tahta, jabatan, maupun kekuasaan. Ingatlah, Nak! Bahagia ada, karena kita selalu bersyukur, tidak pernah mengeluh,” kata Ibu Guru Tatik.
Itu bukan hanya sekadar teori, melainkan memang nyata adanya! Bukti sudah banyak bertebaran. Hanya saja, terkadang, kita sering malu, mengakuinya. Enggan mengatakan ya, meskipun benar.
Ibu Guru Tatik menatap wajah murid-muridnya, yang duduk di meja masing-masing. Muka mereka yang polos, lugu, dan mulai beranjak remaja membuatnya harus ekstra keras dalam memberikan pendidikan moral. Apalagi, mengingat, istilah sekarang, zaman now. “Wendy, apakah kamu bisa menjamin, ayahmu akan selalu kaya selamanya dan kamu akan mewarisi kekayaan yang banyak, kelak?” tanya Ibu Guru Tatik, mengagetkan Wendy, yang melamun—karena tidak mood setelah ditinggal Rita, sendirian.
Wendy tak bisa menjawab. Maklum, itu bukanlah pertanyaan ringan! Karena, tak ada satu pun manusia yang tahu tentang kejadian hari esok. Itu adalah hak prerogatif Allah, bukan ranah manusia. Apalagi tidak ada rita, ia semakin terpojokkan.
“Wendy, ayo, jawab pertanyaan Ibu!” kata Ibu Guru Tatik lagi.
Wendy menggelengkan kepala. Menyerah, tanda tak bisa menjawab.
“Benar, kamu tak bisa menjawab, Wendy?” tanya Ibu Guru Tatik lagi.
Wendy tak berani menjawab. Ia hanya menganggukkan kepala, benar-benar tak sanggup berkomentar.
“Oke! Sesuai pelajaran kita hari ini, PKn, pelajaran ini mengandung nilai moral dan budi pekerti. Oleh karena itu, Ibu punya satu permintaan dan harapan. Mulai saat ini, hapuslah sifat yang suka mem-bully! Mungkin, hari ini Dinda memang miskin, tinggal di panti, memiliki sejarah hidup yang pahit. Namun, kita tidak tahu masa depannya. Mungkin saja, ia lebih sukses daripada kalian semua. Siapa tahu, berkat ketabahan, kesabaran, dan keikhlasannya, Allah membalas dengan yang lebih baik. Sehingga, kalian berada di bawahnya. Seperti, sosok Hellen Adam Keller, seorang wanita yang tidak memiliki penglihatan dan pendengaran. Ia buta dan tuli sejak usia tujuh tahun. Semasa kecil, ia merupakan sosok anak yang suka memberontak dan sangat sulit diatur, karena keterbatasannya. Namun, berkat ketabahan Anne Sullivan, sang guru, dalam mendidiknya, pada tahun 1904, Hellen Adam Keller lulus dari Radcliffe. Menjadikannya orang buta dan tuli pertama yang lulus di bangku perkuliahan, dengan mendapatkan banyak pujian di dunia. Semasa hidup, Hellen Adam Keller aktif di dunia politik, pendidikan, dan sastra. Terutama, hukum. Ia adalah seorang pengacara yang selalu membela para buruh. Salah satu maha karyanya yang terkenal, The World I Live in dan The Story of My Life, yang diterjemahkan lebih dari lima puluh bahasa. Tidak sampai di situ saja, beberapa kali ia meraih penghargaan bergengsi tingkat dunia, seperti pemenang di Honorary University Degrees Medal Of Freedom dan The Lions Humanitarian Award. Bahkan, kisah hidupnya pun meraih dua kali piala oscar. Saat masih hidup, ia telah mengunjungi sebanyak tiga puluh sembilan negara di dunia. Semua itu tidak terlepas dari doa, dukungan, dan kesabaran Anne Sullivan, sang guru inspirator. Anne Sullivan sendiri pernah mengidap penyakit trakoma, yang membuatnya hampir kehilangan penglihatan, karena kemiskinan. Semangat dan tekad, serta doa yang tak pernah lelah dipanjatkan, menghantarkannya menjadi seorang pengajar di Perkins School for The Blind. Di sinilah, ia mengenal Hellen dan mendampinginya sampai maut memisahkan mereka. Mereka telah mencatat sejarah, menghapus paradigma bahwa mereka yang miskin atau memiliki kekurangan fisik tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya menyusahkan saja. Nyatanya, nama mereka sampai saat ini harum, tetap dikenang. Inilah hidup! Hidup penuh dengan misteri,” jelas Ibu Guru Tatik.