Terkadang kita sering memandang takdir Allah itu sebagai musibah. Tapi mengapa kita tidak mengnyadari terlebih dulu sebelum memvonisnya.
Generasi saat ini sangat memprihatinkan. Istilah fenomenalnya, generasi micin. Orangtua hanya mendengar pengaduan anak. Benar atau salah, ditelan mentah-mentah tanpa peduli kejadian yang sebenarnya seperti apa. Di sekolah, hak seorang guru semakin dipersempit. Guru dilarang mencubit, memukul, mencaci, dan menghukum berlebihan. Sedangkan, kenakalan anak menguras emosi luar biasa.
Etika anak semakin tidak bermoral. Akhlak dan budi pekerti terjun bebas tanpa kendali. Mereka seenaknya melakukan perlawanan terhadap guru, karena ada pembelaan dari orangtua. Berbagai macam kasus telah membuka mata kita bahwa profesi guru semakin terancam kedudukannya. Ada yang dihajar oleh ayah sang murid, seperti kasus yang pernah terjadi di Makasar. Karena, tidak terima anaknya ditegur, lantaran tidak mengerjakan PR. Sedangkan, anaknya memang sudah kelewatan batas dengan membalas teguran guru dengan tak beretika. Wajar jika seorang guru memukul murid untuk memperingatkannya. Namun, ternyata, berujung pada penganiayaan terhadap sang guru dan sampai pada ranah hukum.
Di Sidoarjo, hanya gara-gara mencubit, seorang guru divonis tiga bulan dengan masa percobaan enam bulan oleh hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo. Tidak sampai di sini, di Kubu Raya, provinsi Kalimantan Barat, seorang guru dipotong paksa rambutnya. Karena, orangtua murid tidak terima, anaknya ditertibkan, lantaran melanggar aturan memiliki rambut panjang. Berbagai nasihat sudah diberikan kepada para siswa, tetapi tidak digubris. Mereka tetap membandel. Sehingga, sangat wajar jika guru mengambil tindakan memotong rambut muridnya, agar tidak menjadi contoh buruk bagi yang lain. Namun, pada kenyataannya, hal tersebut berbuah pahit.
Yang terakhir, paling menyayat hati, kasus yang terjadi di Madura. Seorang guru meninggal dunia, karena dianiaya murid yang tidak terima ditegur sang guru. Ia ditegur, sebab tidak mengerjakan tugas. Berulangkali diberi peringatan, tetapi tetap tidak digubris, hingga sang guru menggoreskan cat minyak ke pipi murid tersebut. Tak terima diperlakukan seperti itu, murid tersebut mengeluarkan kalimat yang tak wajar. Kalau sudah demikian, wajar jika seorang guru memukul. Namun, murid ini malah melawan dengan cara menangkis dan memukul balik hingga membuat sang guru banyak mengeluarkan darah segar. Jika sudah terjadi seperti itu, mana yang katanya para pegiat HAM, yang sering koar-koar tentang pembelaan hak asasi anak?
Guru adalah bagian dari tolak ukur kemajuan bangsa. Merupakan pintu gerbang pendidikan yang membuka akses ke semua bidang. Guru berbeda dengan pegawai lainnya. Kesejahteraan guru kecil dibandingkan dengan pegawai lain. Pegawai honorer guru sering tidak dibayar, karena sekolah tidak memiliki anggaran. Namun, mereka tak pernah mengeluh. Tetap berjuang demi bangsa, negara, dan agama. Namun, jika kenyataan yang terjadi di lapangan demikian adanya dalam menghormati peran guru, mau dibawa ke mana arah bangsa ini ke depannya?
Camat, bupati, gubernur, dan presiden tak akan cerdas jika tidak ada seorang guru yang mendidik mereka, agar bisa membaca, menulis, dan berhitung. Setelah jadi orang besar, jasa guru malah tidak dipedulikan.
Pendidikan zaman dulu, jauh lebih indah dan beretika. Jika kita dimarahi dan dipukul guru, mengadu ke rumah, bukannya dibela, malah makin dimarahi. Kata orang tua zaman dulu, jangan suka mengadu domba antara guru dan orangtua. Nanti bisa kualat. Guru adalah orangtua juga. Namun, berbeda dengan zaman sekarang. Guru hanya sebatas bengkel perbaikan ilmu pengetahuan yang dibayar. Ilmu dengan uang tak sebanding.
Perdebatan Rita dengan Ibu Guru Tatik karena masalah bully terhadap Dinda, terus berlanjut sejak beberapa hari lalu. Tidak tanggung-tanggung, hal itu juga tersebar di berbagai media, terutama koran dan media sosial. Koran Radar Sampit memuatnya dengan judul Keangkuhan Anak Bupati, sebagai pemberitaan utama pada hari itu, Senin, 02 April 2015. Dari mana wartawan bisa mencium soal permasalahan itu, tidak ada yang tahu. Yang jelas, seluruh masyarakat Bumi Habaring Hurung mengetahui. Tidak hanya di sekitar Sampit saja, melainkan seluruh masyarakat Indonesia jadi tahu lewat media sosial.
Setelah membaca koran dan mengetahui soal pemberitaan itu, Bunda Ismi berniat, mendatangi Dinda ke sekolah. Meminta penjelasan yang lebih akurat mengapa bisa kejadian seperti itu terjadi. Bunda Ismi sadar, yang menjadi lawan utamanya anak bupati, penguasa daerah itu. Siapa yang tidak akan takut? Anak bupati, kok, dilawan!
***
Suasana sekolah yang terletak di jalan A. Yani itu ramai. Sekolah yang berdampingan dengan sekolah lainnya itu terlihat indah, dikelilingi bunga lili, melati, bunga kertas, dan bonsai yang berjajar rapi, laksana taman kota. Tampak murid-murid berkeliaran di halaman sekolah. Ada yang sedang berolahraga, duduk santai di taman dan teras muka kelas, main kejar-kejaran, pun ada yang sibuk sendiri.
Bunda Ismi pergi ke sekolah Dinda bersama Ustadzah Muna.
Sesampainya di sekolah, mereka langsung ke kantor guru, menemui bapak kepala sekolah dan Ibu Guru Tatik.
“Assalaamu’alaikum,” ucap Ustadzah Muna.
“Wa’alaikumussalaam. Nggih, silakan masuk, Bu!” sahut Ibu Guru Tatik. “Ada yang bisa kami bantu, Bu?” tanya Ibu Guru Tatik lagi setelah mempersilakan duduk.
“Nggih, Bu. Perkenalkan, saya Muna dan ini, Ibu Ismi, pengasuh Panti Asuhan Tunas Bangsa. Kami ke sini sebagai wali murid Dinda, mau bertemu dengan bapak kepala sekolah dan Ibu Guru Tatik,” jelas Ustadzah Muna lagi.