Tak sedikit yang berpikir mengapa Allah menakdirkan bully ada dalam daftar kehidupan. Mengapa bully seakan-akan hal yang paling wajib dirasakan dalam suratan takdir seseorang. Hingga, banyak orang yang tak kuat menerima kenyataan.
Nama Ibu Guru Tatik dan Dinda semakin tenar dan dikenal. Tidak hanya di dunia nyata, melainkan juga dunia maya. Semua berasal dari kejadian satu minggu kemarin. Perseteruan antara Ibu Guru Tatik dengan Rita, sang anak bupati, tidak tanggung-tanggung, masuk ke dalam pemberitaan utama. Menghiasi halaman depan koran Radar Sampit. Terpampang jelas dan tak dapat dipungkiri lagi. Mereka yang pro kontra, memberikan berbagai penilaian tersendiri dalam menyikapi dan memutuskan bagaimana selanjutnya.
Keteguhan berprinsip, akidah, dan nilai-nilai kebersamaan sukar ditemukan seiring dengan sulitnya perekonomian saat ini. Berbagai macam cara dihalalkan, agar bisa selamat tanpa berpikir apakah orang lain akan jadi korban. Ibu Guru Tatik telah merasakannya ketika menyuarakan kebenaran. Ia di-bully, dimusuhi, dan diancam. Semua itu sudah dialaminya. Begitu juga, dengan Dinda. Hidup dikejar-kejar, layaknya artis. Wartawan datang, silih berganti. Bagian protokoler bupati pun sempat menawari pindah sekolah, agar tidak satu sekolah dengan Rita. Hal itu yang membuat Dinda bingung dan cemas.
Pagi itu jam sembilan, Ibu Guru Tatik diundang, menemui bapak bupati.
Sebelum berangkat ke rumah dinas bupati, Ibu Guru Tatik sempat mampir ke Panti Asuhan Tunas Bangsa. Menjemput Bunda Ismi dan Dinda, agar ikut memenuhi undangan tersebut. Ibu Guru Tatik baru tahu pagi tadi, sehabis shalat Subuh, jika mereka berdua juga diundang. Ia ditelepon oleh Bapak Luthfi, agar membawa Dinda dan Bunda Ismi serta. Katanya, itu perintah dari bapak kepala dinas pendidikan.
Bunda Ismi dan Dinda hanya terdiam saat mengetahui, mereka diminta ke rumah dinas bupati.
“Inikah risikonya menjadi anak miskin? Berbuat benar saja, disalahkan. Apalagi, berbuat salah! Mereka telah bermain-main dengan kekuasaan. Berbuat tidak adil. Mereka curang! Namun, apalah dayaku. Berteriak lantang pun tak ada yang mendengar! Malah, dijadikan bahan lelucon bagi mereka,” ucap Dinda.
Ibu Guru Tatik dan Bunda Ismi tertunduk, dengan derai airmata. Ustadzah Laila dan anak-anak panti lain merasa tak kuasa lagi menanggung segalanya. Mereka terdiam.
“Aku rela! Tak terbersit dendam. Namun, mengapa aku yang harus menerima ini? Jika bisa memilih dan boleh memprotes, aku pun tak ingin hidup seperti ini,” kata Dinda lagi.
“Sabar, Nak! Sabar! Inilah ujian bagi kita. Pohon yang tinggi diuji oleh angin. Rumput yang rendah diinjak-injak. Begitu juga, kita, manusia. Diuji, sesuai dengan pangkat dan derajatnya di dunia,” sahut Ibu Guru Tatik.
“Namun, Bu, mengapa selalu begini?”
“Mungkin ada hikmah di balik semua ini. Allah yang mengatur segalanya. Kita punya rencana, Allah pun punya rencana. RencanaNya lebih baik daripada rencana kita. Percayalah! Kuatkan hati! Jangan sampai melepaskan pegangan dariNya!”
Dinda terdiam.