Berapa banyak manusia di dunia ini yang pernah mengecap dirinya sebagai manusia paling tidak beruntung?! Manusia yang selalu direlung kesedihan dan kegundahan, hampir tak ada sedikit pun kebahagian hadir di kehidupannya?! Setiap hari, airmatalah teman setianya. Karena, dikatakan sebagai anak pembawa sial, mencoreng nama baik kelurga, atau penyebar aib memalukan. Hingga, berakhir pada bunuh diri sebagai jalan akhir.
Mengapa kita tidak belajar pada guru kehidupan, Nabi Muhammad SAW dan keluarga Beliau? Nabi Muhammad adalah manusia di atas manusia. Singgasana dunia ada pada tangannya. Namun, Beliau tetap memilih hidup sederhana. Beliau sering kelaparan. Dapur sering tak mengepulkan asap, karena tak ada sesuatu yang bisa dimasak. Di rumah, hanya ada satu tikar. Saat tidur pun beralaskan tikar. Beliau tak pernah mengeluh sedikit pun. Padahal, jika Beliau meminta kepada Allah, pasti akan diberi. Namun, Beliau tidak meminta apa-apa, selain keridhaan Allah.
Tidak hanya itu saja, Nabi Muhammad juga sering mendapatkan ujian, hingga Beliau termasuk ulul azmi. Berapa banyak pengkhianatan yang Beliau alami?! Paman yang sangat Beliau sayangi, syahid dengan tubuh tercincang. Ya, Hamzah RA, syahid karena dikhianati. Tidak hanya itu, saat malaikat Jibril menyampaikan berita tentang nasib kedua cucu Rasulullah, Hasan dan Husein; Hasan yang kala itu memakai baju berwarna hijau, tanda terbunuh dengan cara diracuni. Begitu juga, dengan sang adik, Husein, yang memakai baju merah, tanda gugur, karena tebasan pedang dari belakang. Mendengar berita itu, Rasulullah menangis. Karena, yang tega melakukan, umatnya sendiri, yang tamak akan kekuasaan dunia.
Beliau juga pernah merasakan diboikot selama bertahun-tahun. Dilempari batu sampai berlumur darah oleh kaum Thaif, sampai-sampai malaikat Jibril tak tega, melihatnya dan menawarkan pembalasan. Rasulullah hanya tersenyum, membalasnya dengan doa terbaik.
Begitu juga, dengan putri Beliau, Fatimah Az-Zahra. Kehidupan yang dipikulnya, sangat berat, seakan-akan dunia dibebankan di pundak. Ketika ditinggal ayahandanya, Muhammad SAW, selamanya, kesedihannya semakin mendalam, sampai-sampai dibangunkan Baitul Ahza, rumah kepedihan.
Sekali lagi, mengapa kita tidak belajar dari sejarah perjalanan Rasulullah?!
Waktu terus berjalan tanpa pernah berhenti sedetik pun. Dinda sadar, puasa tinggal dua hari lagi. Ia berusaha, agar bisa menghadapi Ramadhan tahun ini dengan lebih tenang daripada tahun lalu. Ia sempat jatuh sakit tahun lalu, karena tak kuat menahan kerinduan ingin bertemu, merasakan sahur dan berbuka bersama dengan ayah dan bundanya. Pun, lebaran sungkeman dengan keduanya. Nyatanya, sudah delapan belas tahun, ia tak pernah merasakan itu. Sehelai foto untuk dijadikan kenang-kenangan pun tak ada. Dinda tak memiliki kesempatan untuk tahu siapa orangtuanya. Siapa ayah dan ibunya.
Setiap hari, diungkapkan kerinduannya di penghujung shalat. Beban yang terus menghimpit jiwa, belum juga ada tanda-tanda untuk lepas. Ya Rabb, aku tak tahu keadaan mereka. Di mana mereka? Bagaimana kondisi mereka? Apa yang sedang mereka lakukan saat ini? gumamnya dalam hati.
Dinda bangkit dari kasur, langsung menuju kamar mandi, mengambil air wudhu. Ia berniat shalat tahajud, mengadukan segala kerisauan hati kepada Sang Pemilik Hati.
***
Sebelum melaksanakan shalat, terlebih dahulu, Dinda membaca Surah Ar-Rahman. Surah yang sangat disukai. Dengan membaca Surah Ar-Rahman, ia seolah memiliki kekuatan. Seakan-akan, ia sudah bertemu dengan ayah dan bundanya. Hanya lewat doa, ia dapat memanggil ayah dan bundanya untuk tergerak, menemuinya di situ.
“Ya Rabb, teguhkan hatiku untuk selalu bersandar padaMu! Bimbinglah aku, agar bisa bersabar dan ikhlas! Kuatkan imanku, agar tak berpaling pada godaan yang menerpa! Jadikan semua ini jalan untuk meraih keridhaanMu!”
Seperti biasa, ia melakukan itu dengan menangis di bawah pangkuanNya. Karena, dengan cara ini, ia akan merasa tenang.
Dinda bangkit, mengambil posisi. Mengangkat takbir.
Malaikat di langit ikut bertasbih. Berdoa, semoga kerinduan itu akan segera berakhir.
Alam hening dengan dzikir. Di waktu inilah, Allah turun, menyapa makhlukNya. Mendengarkan seluruh curahanan hambaNya tanpa terlewat satu kata pun. Allah menunggu rintihan hambaNya. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an, Surah Maryam, “Dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku.”
***
Terkadang, Dinda terlalu tegar untuk mendengar seluruh bully yang tertuju padanya. Matanya seakan buta, telinga berpura-pura tuli, dan mulutnya seperti orang bisu, di saat orang lain menghunjamnya dengan berbagai nyinyiran pedas. Semua itu, dianggap angin lalu. Angin lewat yang ingin menerpa pohon yang rimbun buahnya.
Namun, saat itu, Dinda kembali murung. Mengingat, hari itu, puasa yang ke-28. Dua hari lagi, lebaran akan tiba.
“Puasa tinggal dua hari lagi. Adakah kesempatan kita di tahun ini untuk sahur dan berbuka puasa bersama dengan ayah bunda? Pergi tarawih bersama-sama?” kata Dinda pada Zaskia, di taman belakang.
“Entahlah!” Zaskia hanya bisa menggeleng. Karena, kata tak bisa lagi diungkapkan untuk menjelaskan semua kerinduan. Matanya sendu. Terlihat jelas, berharap sama dengan apa yang diharapkan Dinda.