KETIKA MALAIKAT MENANGIS

Rizal Azmi
Chapter #16

SUASANA LEBARAN BAGIAN II

Waktu berbuka puasa sudah tiba. Hari itu, puasa Ramadhan terakhir di tahun ini. Lebaran hanya tinggal menunggu jam saja, sudah akan tiba.

Sebagian besar orang sangat berbahagia, menyambut momen lebaran. Mudik bersama, melepaskan rasa rindu dan kebahagiaan. Anak-anak bersuka ria, menyambut kedatangan momen itu. Memakai serba-serbi baru. Baju baru, celana baru, sandal baru, sepatu baru. Semua serba baru. Ingin menampilkan yang terbaik di hari spesial itu. Yang tak kalah indah lagi, adanya momen bagi-bagi zakat. Inilah yang dinanti-nantikan oleh mereka yang membutuhkan. Momen yang hanya ada satu tahun sekali.

Namun, tak semua anak bisa merasakan kebahagian itu. Ada di antara mereka, yang tak mampu membeli baju baru. Adapula, yang tak bisa mudik lebaran, karena tak cukup biaya. Yang lebih memprihatinkan lagi, mereka yang tinggal di panti asuhan. Tak semua anak panti memiliki keluarga, tempat mereka bisa melepaskan rindu saat lebaran tiba. Pun, bisa menziarahi makam orang terkasih. Ada di antara mereka, puluhan tahun tak pernah berjumpa dengan keluarga. Karena, setelah masuk ke panti asuhan, sanak saudara tak ada kejelasan kabar beritanya.

Terkadang, anak panti tampak terlalu kuat, menanggung semua beban itu. Namun, itulah hidup! Allah menginginkan itu.

Dinda dan Zaskia tak pulang. Mereka hanya bisa menyaksikan teman-teman satu asrama pulang, dijemput keluarga masing-masing.

Di samping pintu, dengan linangan airmata, mereka berdua menyaksikan semua momen kebahagiaan itu. Sebuah kecemburuan yang tak bisa didustakan, hadir begitu saja. Meski, berusaha ditutup dengan senyuman yang dipaksakan.

Terlihat kegundahan, kelopak mata yang sendu. Memandang ke arah yang tak tahu tujuan ke mana. Bertanya-tanya kapan bisa merasakan, seperti yang lain. Sebuah kecemburuan akan kebersamaan yang dirindukan, terasa begitu berat. Keingintahuan siapa sebenarnya diri. Terutama, lelahnya di-bully, lantaran ketidakjelasan akan status diri—apakah hasil berzina atau berasal dari pernikahan yang sah.

“Andai boleh memilih, memberontak pada takdir, aku tak ingin ditakdirkan bagini! Aku ingin seperti anak-anak lain. Yang pasti, tidak di-bully setiap saat. Namun, nyatanya, aku terlahir sebagai anak terbuang! Statusku jadi tak jelas! Mungkin, inilah alasan mereka mem-bully-ku. Sungguh berat ujianku! Ya Rabb, kapan aku bisa bertemu dengan keluargaku?!” kata Dinda, bergumam sendiri. “Jika boleh bunuh diri, akan kulakukan itu sedari dulu, agar tidak merasakan semua derita ini.”

Dinda kembali diam. Menatap setiap orang yang lewat penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Sesekali, di antara mereka, ada yang tertawa ria, berteriak-teriak kecil, pun bersenda gurau. Mereka tampak berbahagia, karena pertemuan. Satu tahun tak bertemu. Sedangkan Zaskia, asyik dengan dunianya sendiri. Makan camilan. Jika pun terusik karena perkataan Dinda, ia juga tak terlalu menghiraukan. Baginya, kadang terlalu lelah, memikirkan semuanya. Jika memang harus bertemu dengan orangtua, pasti ada jalannya nanti.

Tidak berselang lama, Bunda Ismi datang—setelah bersilaturrahmi ke rumah tetangga, yang berada di samping panti asuhan. Ikut duduk bersama mereka berdua. Menatap satu-persatu keadaan anak didiknya. Yang satu, terlihat murung. Satunya lagi, sedang asyik nyemil sendiri. “Dinda Sayang, kok, hari lebaran begini, murung, sih?! Harusnya berbahagia, dong!” tanya Bunda Ismi sambil ikut nyemil stick balado yang dimakan Zaskia.

“Ya, tuh, Bun! Sudah sedari tadi! Apalagi, melihat Fathir dan Azima tadi dijemput pamannya, tambah manyun ia!” sahut Zaskia.

“Bagaimana tidak sedih?! Setiap lebaran tiba, tidak pernah ada yang datang, menjenguk kita. Hanya aku, kamu, Tina, dan Aulia yang tak pernah ditengok keluarga. Kita ini juga manusia! Yang punya rasa cemburu dan iri hati. Meskipun, kita tinggal di panti, setidaknya, ada sanak saudara atau kerabat jauh yang menengoklah di hari lebaran ini. Apakah mereka tidak kangen pada kita?” sahut Dinda, makin cemberut.

Lihat selengkapnya