Tak ada beban yang berat dalam hidup, atau tanggungan yang banyak. Yang ada kita sering mengeluh karena kurang menyukuri.
Adzan Subuh di Masjid Syech Maulana Umar Mas’ud terdengar syahdu. Tak lama berselang, terdengar dari masjid lainnya juga, hingga bertalu-talu indah. Menggema di seantero kota Sampit yang gelap, diguyur hujan. Hawa dingin menusuk tulang, membuat siapa pun malas, beranjak dari kasur empuk.
Dengan perasaan enggan, anak-anak terpaksa beranjak dari atas kasur. Membersihkan badan, berwudhu, dan segera memenuhi panggilan Illahi. Di antara kewajiban itu semua, Allah telah memerintahkan malaikat untuk menaburkan rezeki ke muka bumi dengan rahmat dan kasih sayangNya.
Di luar, hujan semakin deras sejak tengah malam tadi. Guntur sesekali terdengar, menggelegar. Aktivitas mulai ramai. Jalanan disibukkan dengan para pedagang sayur yang mulai menjajakan jualannya—untuk mencari sesuap nasi dari tetesan keringat yang halal. Beberapa anak terlihat sudah pergi ke sekolah. Mungkin, hari itu, jadwal mereka membersihkan ruang kelas.
Sehabis shalat Subuh, Dinda kembali ke kasur. Sedangkan anak-anak yang lain, sibuk dengan aktivitas masing-masing, seperti biasanya, tanpa dikomando. Mereka mengerjakan sesuatu yang memang harus dilaksanakan. Meskipun, tak ada jadwal yang tertulis bagi mereka. Namun, wajib dilaksanakan.
“Ya Allah, Dinda! Bukannya siap-siap mau pergi ke sekolah, malah kembali ke pulau kapuk! Mau terlambat lagi ke sekolah? Nanti, di-bully lagi, baru tahu rasa!” kata Amelia, yang sudah rapi dengan seragam putih abu-abu.
Dinda tak menghiraukan celotehan Amelia. Ia malah semakin menutupi tubuhnya dengan selimut. Badannya panas. Menggigil. Kepalanya terasa sangat berat, bak tertindih batu gunung sekarung.
“Kamu tidak sekolah, Din? Kamu kenapa?” tanya Amelia lagi.
Dinda mengangguk. Menatap Amelia dengan tatapan sayu.
Amelia membuka selimut yang menutupi tubuh Dinda. Dilihatnya, Dinda menggigil. Suhu tubuhnya panas. Matanya merah. Dinda benar-benar sakit. “Ya Allah, ya Rabbi, Dinda. Kenapa?! Astaghfirullaah.” Amelia terkejut setelah memegang dahi Dinda.
Wajahnya pias. Ekspresinya seperti menatap pembantaian berantai. Tatapannya tak berkedip.
Sementara, di luar, hujan dan petir terdengar menakutkan.
Dinda menggigil, kedinginan. Wajahnya terlihat pucat. “Kak, tolong, ambilkan minyak kayu putih! Kepalaku pusing banget!” ucapnya, parau.
Amelia mengangguk, langsung mengambilkan minyak kayu putih miliknya.
Setelah menyerahkannya ke Dinda, Amelia langsung pergi ke dapur, menuangkan teh panas dan secentong nasi dengan telur ceplok yang disiapkan Ustazah Laila buat sarapan pagi hari itu.
***
“Mau makan di mana, Mel?!” tegur Bunda Ismi, melihat Amelia lari, membawa piring dan gelas.