Ingatlah. Jiwa seorang anak tak ada yang bisa membelinya. Maka perhatikan perlakuan kita terhadap mereka.
Belajarlah dari Ibunda Khadijah Al-Kubra binti Khuwailid yang telah merelakan seluruh apa yang dimiliki, disedekahkan habis demi syiar Islam. Kedermawanan Khadijah yang tak lain adalah istri pertama Baginda Rasulullah SAW tak ada yang bisa menandingi, pun menyamainya hingga detik ini. Namun, setidaknya, kita bisa belajar dari Beliau, yang mengikhlaskan segalanya, karena Allah.
Selain Ibunda Khadijah Al-Kubra, cobalah renungkan sedikit ketabahan dan kesabaran Ibunda Hajar! Kesabaran dan keikhlasan Ibunda Hajar tercatat dalam sejarah perjalanan Islam. Seorang ibunda yang berjuang seorang diri, ditemani putra kecilnya, Ismail, di pengasingan, tepatnya di sebuah lembah yang tidak ada tanaman dan air sedikit pun. Lembah yang sekarang kita kenal dengan nama kota Makkah. Ibunda Hajar merupakan seorang ibunda yang tidak memiliki tempat tinggal. Beliau yang telah mengajarkan kita berlari-lari antara Shafa dan Marwah. Pengorbanan Ibunda Hajar itu melahirkan Sumur Zamzam yang tak akan pernah kering sampai kiamat tiba.
Perjalanan hidup sarat akan sebuah nilai pendidikan. Pertemuan dan perpisahan merupakan rangkaian jalannya sebuah cerita, yang berakhir sedih atau bahagia. Kita semua pasti merasakannya. Setiap hari, kita mengalaminya. Bahkan, terkadang, kita merasa benci akan kata perpisahan. Mengapa Allah hadirkan perpisahan jika pada akhirnya, banyak makhlukNya yang tak kuat merasakan?!
Delapan belas tahun sudah, Bunda Maya melupakan niatnya untuk bunuh diri, akibat tidak kuat menahan tekanan orangtua yang menginginkan anak yang dikandungnya harus digugurkan. Ia lebih memilih melahirkan sebelum membuangnya ke tempat pembuangan sampah. Dengan harapan, ada orang yang menyelamatkan putri yang dilahirkan dari rahimnya sendiri itu.
Berbagai upaya dilakukan, membujuk kedua orangtua, agar mau menerima janin di kandungannya. Namun, mereka bersikeras, harus menggugurkannya. Karena, itu aib keluarga. Seorang gadis mengandung sebelum pernikahan.
Berkali-kali, Bunda Maya melakukan percobaan bunuh diri, tetapi tak berhasil. Di samping itu, semakin hari, kandungannya semakin membesar. Begitu juga, dengan desakan kedua orangtua yang semakin meninggi dan menjadi-jadi. Meskipun, lelaki yang merenggut mahkota kebanggaannya berniat baik, bertanggungjwawab atas perbuatannya.
Perpisahan antara Bunda Maya dan putrinya bukanlah terpisah keseluruhan. Kontak batin antara ibu dan anak, pasti ada. Sebuah ikatan tali darah yang tak bisa dipisahkan, meski oleh jarak dan waktu. Karena, manusia memiliki nurani, yang ada rasa saling membutuhkan dan kasih sayang. Apalagi, jika itu berasal dari rahim sendiri. Namun, terkadang, dikalahkan oleh keegoisan dan nafsu amarah.
Tiga tahun terakhir itu, semakin terasa berat bagi Bunda Maya. Ia merasa sangat berdosa, dulu telah tega melakukan itu pada darah daging sendiri. Meskipun, ia sempat mendengar kabar, putrinya selamat, dititipkan ke panti asuhan. Namun, itu hanya sekadar kabar. Tak ada kepastian kuat, yang bisa meyakinkannya, itu berita benar. Karena, setelah melakukan itu, ia langsung pergi ke Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya. Tujuan penerbangan Jakarta, menyusul ayah dan ibunya, yang sudah duluan ke sana, karena tak ingin menanggung malu.