KETIKA MALAIKAT MENANGIS

Rizal Azmi
Chapter #20

PENYESALAN BUNDA MAYA BAGIAN II

“Mungkinkah suatu saat nanti Bunda bisa menjumpaimu, Nak?! Bunda ingin memelukmu. Mencium dan menjagamu hingga akhir hayat. Bunda terpaksa, melakukan ini, Nak. Terpaksa, karena keadaan. Kakek dan nenekmu mensyaratkan, agar Bunda harus tetap lulus sekolah, dan baru menikah dengan ayahmu ini. Pihak sekolah juga tidak ada yang tahu tentang hal itu. Karena, kami langsung memutuskan pindah sekolah. Maafkan Bunda, Nak! Maafkan Bunda!” tangis Bunda Maya di kasur sendirian.

“Bun, lupakan semua omong kosongmu itu! Jika hanya membuatmu terbelenggu dalam lingkaran kesedihan. Sekarang, kalau ada apa-apa, Radit dan Ratih yang menjadi korban. Jangan korbankan mereka hanya karena masa lalu kita! Jika pun kita bertemu dengan anak itu, belum tentu ia mengakui kita sebagai orangtua. Itu akan lebih menyakitkan!” kata Sahid yang menyusul istrinya ke kamar

“Wajar jika ia tak mengakui kita sebagai orangtua! Karena, kita tak pernah ada di sampingnya. Tak pernah ada di saat ia membutuhkan. Secara biologis, ia anak kita. Namun, secara ideologis, ia milik orang lain yang mungkin menemukan dan mengasuhnya. Itu wajar, Yah! Namun, setidaknya, kita tahu, ia masih hidup, dan keadaannya!!!” sahut Bunda Maya, semakin histeris.

Tak ada satu orangtua pun di dunia ini sanggup berpisah dengan anak-anaknya. Saat anak-anaknya dewasa pun ia masih khawatir, karena cinta dan kasih sayang agung, terpatri di dalam jiwa. Tak mampu ditebus dengan berlian setinggi Gunung Himalaya pun. Itu tersirat dalam perjalanan kisah Nabi Ya’qub dengan Nabi Yusuf yang telah menghilang, karena kecemburuan saudara-saudaranya. Terlihat pada Surah Yusuf ayat 13, Ya’qub berkata, “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau ia dimakan serigala! Sedangkan, kamu lalai, menjaganya.”

Sebuah kesedihan yang tak bisa ditutupi dan dibohongi. Akibat menangis berkepanjangan lantaran kerinduan menahan pedihnya kehilangan, Nabi Ya’qub sampai kehilangan penglihatan, sebab deraian airmata yang selalu tertumpah. Hingga akhirnya, Allah mengembalikan Nabi Yusuf ke pangkuan Nabi Ya’qub lewat proses panjang pada suatu peristiwa kemarau berkepanjangan di Palestina, yang mengharuskan mereka meminta pertolongan ke Mesir. Sedangkan, penguasa Mesir kala itu adalah Nabi Yusuf sendiri. Dari sinilah, buah kesabaran, keikhlasan, dan doa yang tak pernah lelah dipanjatkan, terwujud. Allah membalasnya.

Lalu, mengapa ada mereka yang tega melakukan itu? Membunuh darah daging sendiri?! Mengaborsi, memutilasi, atau membuang hidup-hidup? Mengapa ada?! Itukah yang dinamakan kasih sayang?! Wujud dari cinta hakiki?! Itukah yang disebut pengorbanan?! Mengorbankan mereka yang tak tahu apa-apa demi martabat diri?! Apakah artinya hidup jika tak memiliki keturunan? Untuk siapa bekerja keras jika bukan untuk anak di rumah? Sebuah kehormatan dipanggil ayah dan bunda di depan banyak orang. Karena, jutaan dari kita, ada yang belum diizinkan untuk memilikinya. Terus, mengapa ketika diberi, malah mengkhianati?!

Memang, terkadang, orang hanya bisa menertawakan, lupa terhadap pernyataan Allah. Hal inilah yang sering tidak kita pikirkan secara sehat. Ketika orang mengatakan hamil di luar nikah, sungguh, sebuah pertanyaan yang sangat berat bagi wanita! Sebuah tusukan keras, mengenai jantung, senantiasa mendengar pertanyaan itu. Karena, bagi wanita, itu merupakan sebuah bagian dari identitas diri. Pemerkosaan begitu misterius, menjadi bagian kehidupan wanita, yang selalu mengancam di setiap saat. Bukan hanya orang lain, terkadang, ayah kandung sendiri pun khilaf.

“Sebelum terlambat, ajal datang, menjemput, aku akan berusaha mencarinya. Aku takut, Allah menanyakan pertanggungjawaban kita. Takut, anak itu menuntut kita kelak sebagai orangtuanya. Dengan perasaan yang tak bisa diuraikan dengan kata, pun dilukis dengan tinta, penyesalan, kesedihan, dan kekecewaanku, biarlah Allah saja yang tahu! Jika Ayah tidak ingin ikut mencari, tidak apa-apa! Cukup, izinkan aku mencarinya! Batinku merasa, ia memanggil-manggil namaku. Ia juga rindu padaku. Ia juga menanti,” kata Bunda Maya, tegas.

Mendengar kata-kata pertanggungjawaban itu, Sahid Maulana jatuh, tersungkur. Ia baru sadar, masih akan ada kehidupan setelah mati. Di situlah, penuntutan dan keadilan akan ada. Divonis seadil-adilnya.

Sahid Maulana menangis, histeris. Menyesali ego, hawa nafsu, dan kesombongannya.

Tak ada seorang ibu pun yang sanggup berpisah dengan anaknya. Ia rela mati, asalkan anaknya selamat. Ia rela lapar, yang penting, anaknya kenyang. Ia rela tidak tidur nyenyak demi menjaga sang anak dari gigitan nyamuk yang dapat membangunkannya. Ia rela kedinginan, demi anaknya tetap hangat. Semua tak dapat dibayar dengan sebuah pemberian uang. Tak bisa diganti dengan semua harta kekayaan yang dimiliki. Apalagi, dihapus dengan menghilangkan jejak sejarah.

Ini bisa dilihat dari sejarah kehidupan yang pernah terjadi di masa lalu. Pada zaman Nabi Daud AS. Nabi Daud AS didatangi oleh dua orang wanita yang sama-sama mengaku kalau bayi yang mereka bawa itu anak kandungnya. Nabi Daud pun berusaha memberikan keadilan seadil-adilnya dengan berdasarkan dalil-dalil yang Beliau pergunakan. Merasa tidak puas atas keadilan yang diberikan Nabi Daud, mereka pun keluar, bertemu dengan Nabi Sulaiman AS. Pada Nabi Sulaiman AS, mereka kembali mengadukan perihal yang sama. Mendengar penjelasan dari kedua wanita yang sama-sama mengakui itu bayinya, Nabi Sulaiman AS memerintahkan kepada pengawalnya untuk membelah bayi itu menjadi dua bagian. Sehingga, masing-masing mendapatkan potongannya. Inilah bentuk keadilan yang diberikan kepada mereka.

Di sinilah, terlihat ketulusan seorang ibu. Ia tidak tega, anaknya disakiti. Ia tidak akan sanggup, menyaksikan anaknya menderita. Ia tidak akan tahan, mendengar anaknya menangis. Ia tidak kuat, menyaksikan penderitaan anaknya. Ia rela, mengorbankan semuanya. Ia ikhlas, melakukan apa pun demi anaknya.

Melihat pengawal ingin membelah bayi itu, di sinilah, salah satu ibu dari kedua wanita itu tertunduk, sedih. Ia tak sanggup, menyaksikan itu. Karena, itu sama saja dengan membunuh darah dagingnya sendiri jika ia tak mengalah dan bersikap egois. Ia merelakan bayi itu diambil oleh wanita lain, asalkan jangan dibunuh dan disakiti. Melihat dan mendengar ketulusan ibu tersebut, Nabi Sulaiman AS memutuskan, wanita itulah ibu sejati bayi itu. Karena, ibu yang sejati tak akan sanggup, melihat anaknya dibunuh di depan mata sendiri.

Lalu, ketika gambaran kehidupan masalalu telah dijelaskan sedemikian indahnya, untuk dijadikan pembelajaran, mengapa banyak sosok ibu yang tega membunuh anaknya sendiri?! Mulai dari aborsi, mutilasi, hingga mengubur hidup-hidup bayi yang baru lahir, yang masih berlumuran darah dan ari-arinya pun belum terputus. Pantaskah ia disebut seorang ibu?! Yang doanya diijabah Allah?! Pantaskah surga berada di bawah telapak kakinya?! Seandainya itu pantas, betapa tak adilnya Allah!

Untuk kesekian kali, Bunda Maya meneteskan airmata penyesalan atas sikapnya yang dulu. Kini, perasaannya selalu dihantui dengan jutaan bayangan yang tak dapat diuraikan dengan kata. “Yah, kita harus secepatnya, mencari anak kita. Kita harus mencarinya, Yah,” kata Bunda Maya.

Sahid hanya tertunduk, lesu. Perasaannya hancur, berkeping-keping. Menyesali perbuatannya dulu. Bertanya-tanya mengapa dulu ia harus menyetujui bayi yang merupakan anak kandung tersebut dibuang hidup-hidup.

“Kapan?!” tanya Bunda Maya.

Sahid tetap diam, dengan kepala tertunduk.

Lihat selengkapnya