Bagaimana kamu masih bisa melakukan maksiat sedangkan kamu tak mampu bertahan dibawah panasnya terik matahariku. Tahukah kamu bahwa neraka jahannam itu mempunyai tujuh tingkatan.
(Hadist Qudsi)
Kondisi zaman saat ini, semakin genting. Mengancam kehidupan pemuda penerus bangsa. Tidak hanya di kota-kota besar, melainkan sudah menyebar rata ke pelosok desa. Ketika ancaman-ancaman itu semakin merajalela, mengepung dari berbagai penjuru; dari muka, belakang, sisi kiri, dan kanan; di sinilah para munafik berdiri sebagai pembela yang menggunting dalam lipatan. Hukum dibuat samar di tengah hiruk pikuknya kebatilan yang membabi buta. Sampai-sampai, dukun berubah nama menjadi guru spiritual. Kemunafikan dan kebatilan, seakan-akan menu utama, agar bisa meraih kesuksesan dengan menyingkirkan kebenaran hakiki, yang dibuat seburam mungkin, supaya tak terlihat nyata. Jika ketahuan hanya sedikit, tidak apa-apa. Allah maha pengampun. Dosa besar saja, Allah ampuni. Apalagi, dosa kecil seperti itu. Tidak ada jaminan kesempatan datang dua kali. Dan harus memulai dari sekarang. Ditambah lagi, sekarang, banyak para ulama yang menjual ayat demi kepentingan golongan dan politik semata. Hingga, rakyat yang buta akan pengetahuan menjadi korban atas kebodohan yang diciptakan berjamaah.
“Kenapa baru sekarang, kalian terpikir untuk mencarinya? Tidak dulu-dulu. Apakah kalian yakin, ia masih hidup atau mati?” tanya ayah Bunda Maya sinis saat tahu, putrinya itu ingin mencari sang anak, yang tak lain cucunya sendiri.
“Bukankah itu dulu yang ayah ibu inginkan? Ayah tidak menginginkannya ada. Bahkan, berulang kali, Ayah memintaku untuk aborsi. Ayah, Ibu, dan Mas Sahid waktu itu sama. Sama-sama ingin melakukan hal itu!”
Ayah Bunda Maya berdiri dari tempat duduk. “Saat itu kita tak punya pilihan lain. Jika dipertahankan, sama saja membongkar aib keluarga.”
“Ayah, Ibu, maafkan aku! Untuk kesekian kalinya, menentang larangan Ibu. Aku akan tetap mencari anakku yang pernah dibuang. Apa pun itu risikonya. Hidup atau mati, jawabannya nanti. Sudah kupersiapkan mental, mendengar kemungkinan terburuk. Yang penting, aku sudah berusaha bertanggung jawab. Karena, ini jalanku membuka pintu tobat.”
“Terserah kalian! Pokoknya, jika bertemu, aku tak ingin melihatnya! Karena, ia bukan dari hasil yang sah! Walaupun, Sahid sudah menikahimu, aku tetap tidak ingin melihatnya!” jawab ayah Bunda Maya, tegas.
Sahid menelan ludah. Kecewa dengan apa yang dikatakan sang mertua. Meskipun, ia sudah bertanggung jawab atas kejadian masa lalu, ternyata, kekecewaan dan permohonan maaf diri masih tidak seutuhnya dimaafkan sang mertua.
“Tidak apa-apa jika Ayah tidak mau melihatnya. Itu karena, kekecewaan yang masih menguasai diri Ayah lebih tinggi daripada kesabaran yang dimiliki. Setidaknya, aku sudah mengatakan ini,” sahut Bunda Maya lagi, dengan linangan airmata.
Kekecewaan itu sangat berat, dilelehkan kembali, agar bisa mencair, laksana es yang melumer, karena panas. Semakin panas kekecewaan, semakin berat dan sulit dimaafkan. Karena, kekecewaan itu merupakan hasil kepercayaan yang telah dikhianati.
Susah bagi orangtua melupakan setiap luka yang menggoreskan perasaan. Betapa tidak?! Rasa cinta yang tak pernah kurang dicurahkan. Ia telah mengorbankan semuanya. Namun, hasil akhirnya berbeda dengan apa yang diharapkan dan dipanjatkan di penghujung doa. Airmatanya selalu tertumpah ketika melihat foto yang terpampang jelas di ruang tamu. Wajah putrinya saat kecil, yang selalu dijaga dan dilindungi. Ternyata, ketika dewasa, tidak mampu menjaga diri. Hanyut bersama jutaan rayuan maut kaum Adam yang ingin mencicipi madu bunga yang belum waktunya untuk disemai. Rasa kecewa, benci, dan hancur, bercampur-aduk dengan kasih sayang yang tak bisa dihilangkan begitu saja. Membuat Bunda Maya khawatir. Khawatir jika kemarahan ayahnya tak kunjung berakhir hingga ajal tiba.
Ya Allah, berikan kekuatan kepadaku! Aku adalah seorang wanita yang di dalam tubuh, kau sematkan rahim untuk mengandung. Merasakan, betapa berat melalui hari-hari ketika hamil! Mengorbankan semuanya saat melahirkan. Aku ingin mengetahui di mana anakku berada saat ini. Izinkan aku bertemu, ya Rabb! batin Bunda Maya.
***
Adzan Ashar berkumandang lima belas menit lagi. Ayat suci Al-Qur’an terdengar indah dari pengeras suara. Pertanda, tak lama lagi, akan tiba waktu shalat. Para santri terlihat sibuk mengantri, mengambil wudhu. Sedangkan, yang sudah selesai berwudhu, langsung mengambil tempat duduk, mengisi barisan yang kosong sambil berdzikir.
Di luar, angin berembus kencang. Awan terlihat hitam, menggulung-gulung. Menyapu awan biru yang berubah pekat. Beberapa pohon pisang yang berada di belakang masjid, terdengar tumbang. Tak mampu menahan diri dari kencangnya tiupan angin.
Ibu-ibu sibuk mengambil jemuran yang masih berada di pekarangan rumah. Anak-anak kecil bersorak-sorak gembira, menyambut hujan. Seperti biasa, mereka akan mandi hujan lagi.
Bunda Maya sendiri terdiam sebelum keluar dari mobil yang berhenti tepat di depan rumah, yang tidak begitu megah dan besar, di samping Masjid Ulul Azmi. Tepat saat menutup pintu mobil, mau melangkah masuk ke teras rumah tersebut, adzan berkumandang.
Sesosok laki-laki sepuh keluar, berjalan dengan tongkat di tangan. “Assalaamu’alaikum, Bu,” sapanya ramah.
“Wa’alaikumussalaam. Maaf, Pak, apakah ini benar, rumah Kyai Muhammad Fakhri?” sahut Bunda Maya.
Dengan suara sangat halus, Beliau menjawab, “In Syaa Allah, benar. Saya sendiri yang kalian maksud.”
Mendengar jawaban tersebut, Bunda Maya terlihat senang.
Iqamah terdengar dikumandangkan. Membuat sang kyai terburu-buru pergi, meninggalkan tamunya.
“Ayo, kita shalat dulu! Atau, kalian mau menunggu di sini? Saya mau shalat dulu di masjid. Sejak tadi, anak-anak sudah menunggu,” ucap Kyai Muhammad Fakhri sambil berjalan terburu-buru.
“Nggih, Kyai. Kami menunggu di sini saja,” sahut Bunda Maya.
Langit biru terlihat begitu indah. Burung-burung terbang, melayang-layang. Bermain-main, mengudara.