Tanpa pertemuan, tak tahu sakitnya perpisahan. Dari perjumpaan, dari perjalan panjang. Itu semua terkenal dalam bingkai perpisahan.
Baamang termasuk dalam wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Daerah yang sebagiannya masuk lingkar kota Sampit yang menjadi ibukota kabupaten. Di atas perutnya inilah, Sungai Mentaya melintas. Sungai kebanggaan warga Sampit.
Penduduk yang mayoritasnya bertani dan berdagang juga memanfaatkan sungai yang berujung di muara Laut Jawa itu sebagai tambahan penunjang perekonomian. Pusat pembuatan cenderamata dari sisik ikan jelawat juga berasal dari Baamang.
Memori masa lalu terlihat jelas, seakan-akan kembali diputar. Kejadian demi kejadian terekam, tanpa ada yang tertinggal. Semua terlintas satu persatu, hingga kejadian yang mencoreng kaum wanita itu kembali terkuak.
Semua kenangan kembali terbayang saat Bunda Maya dan Sahid menginjakkan kaki di bumi Mentaya setelah delapan belas tahun pergi, meninggalkannya.
Baru kali ini, Bunda Maya mengalami sesuatu yang tak pernah dirasakan selama hidup. Memikul sesuatu yang tak mampu dikatakan dengan sebuah kalimat. Meski, hanya satu kata saja.
Ia meneteskan airmata. Membayangkan rentan waktu yang sangat lama terpisah dengan anak kandung. Perpisahan yang sesungguhnya tak diinginkan. Sedangkan Sahid, hanya diam di sepanjang perjalanan. Raut mukanya berubah sendu dan muram.
Titik awal itu dimulai di sini.
Di dalam taksi, Bunda Maya menatap kota Sampit yang jauh berubah dibanding dulu. Kota kecil yang sarat akan makna. Salah satunya, sejarah pertikaian dua suku yang sempat mengguncang ke-bhineka tunggal ika-an negeri kita yang gemah ripah loh jnawi ini. Nak, Bunda yakin, kamu masih hidup. Kita segera bertemu, ya, Sayang! Tunggu Bunda!
Bunda Maya yakin, ia pasti akan bertemu dengan anak kandungnya. Keyakinannya semakin kuat saat teringat kisah perjumpaan Nabi Adam dan Hawa yang terpisah hampir tiga ratus tahun lamanya.
Tiga abad lamanya, Nabi Adam dan Hawa hidup dalam kesendirian. Tanpa mengenal soal di mana mereka tinggal saat itu. Dengan kekuasaanNya, Allah memberikan bimbingan lewat Malaikat Jibril. Satu pelajaran penting yang dapat kita ambil hikmah dari perjalanan sejarah hidup Nabi Adam dan Hawa hingga dipertemukan kembali di Jabal Rahmah. Gunung penuh cinta. Gunung kasih sayang dan ketulusan. Setiap waktu Beliau memohon ampunan kepada Allah berupa rintihan. Hingga, Allah mengabadikannya dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raaf ayat 23. “Keduanya berkata, ‘Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang rugi.’”
Setelah dipertemukan di Jabal Rahmah, mereka membina rumah tangga hingga melahirkan putra-putri kembar yang berpasangan sebanyak dua puluh pasang. Di sinilah, berawal kisah keturunan manusia. Sejarah manusia pertama kali. Mematahkan teori Darwin yang mengatakan, kita berasal dari kera. Sedangkan, pada hakekatnya, kita berasal dari tanah. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, Surah Al-Mu’minun ayat 12. “Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia dari tanah.”