KETIKA MALAIKAT MENANGIS

Rizal Azmi
Chapter #24

PERTEMUAN PERTAMA BAGIAN III

Mengungkap sebuah cerita masa lalu bukanlah perkara mudah. Karena, hal itu sama saja dengan menggoreskan kembali luka yang telah kering, lalu disiram dengan air alhokol hingga terkoyak. Ngeri! Disayat-sayat, hingga jeritan pilu menggema dengan miris. Seakan-akan, itu tidak ada rasanya sama sekali. Begitulah, gambarannya cerita masa lalu. Sebab, tidak semua sejarah hidup bisa dibuka kembali. Tidak semua orang memiliki kekuatan, menyaksikan reka ulang kembali.

Di luar, hujan semakin deras. Sesekali, bunyi guntur terdengar, mengagetkan makhluk bumi. Tiupan angin kencang mematahkan ranting-ranting pohon. Bahkan, beberapa pohon tumbang, karenanya.

Bunda Ismi bergabung bersama tamu yang dimaksud Ustadzah Muna tadi.  “Ada yang bisa kami bantu, Bunda? Atau bagaimana?” tanya Bunda Ismi.

“Kenalkan, saya… Maya dan… ini Sahid! Kami… ke sini… ingin… ingin….” kata Bunda Maya, terbata-bata.

“Saya Ismi, pengasuh di sini. Ingin apa, Bunda?” tanya Bunda Ismi lagi, bingung.

“Kami ingin mencari kabar apakah anak perempuan yang pernah kami buang di tempat sampah delapalan belas tahun silam, masih hidup atau sudah mati,” sahut Sahid, tertunduk.

Mendengar itu, bak disambar petir di siang bolong, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Panas dingin! Keringat bercucuran! Kaki gemetaran! Diam seribu bahasa!

Bunda Ismi kaget. Tatapannya tajam. Ustadzah Muna terdiam, dengan mulut komat-kamit, membaca istighfar. Sedangkan, Bunda Maya histeris.

“Kami terpaksa melakukan itu! Sekarang, kami menyesalinya! Berusaha mencari sekuat kemampuan untuk meminta maaf atas apa yang kami perbuat! Bunda bisa membantu?!”

Bunda Ismi semakin gemetaran. Airmata tidak terasa jatuh. Begitu juga, dengan Ustadzah Muna.

Perasaan Bunda Ismi bercampur aduk antara iba dan benci. Iba, karena kesedihan atas dosa yang diperbuat orang lain. Benci atas perlakuan mereka yang tak berperikemanusiaan. “Mengapa tega, melakukan itu jika dia memang anak kalian?”

Bunda Maya terdiam, tak berkomentar.

“Apa kalian tidak takut akan dosa? Tidak takut pada azab Allah? Tidak takut dengan panasnya api neraka?!”

Bunda Maya semakin menangis, histeris. Sedangkan Sahid, hanya tertunduk, diam.

“Kalian tega! Kalian sampai hati! Nurani kalian terbuat dari apa, hingga kuat melakukan hal seperti itu?”

Tangis Bunda Maya semakin menjadi-jadi. Kesedihannya semakin menguat, layaknya hujan deras yang membasahi alam. Seakan-akan, alam ikut merasakan penyesalannya.

Lihat selengkapnya