Dinda tak menghiraukan keadaan sosok wanita yang shalat di sampingnya. Ia mengira, tamu biasa, yang sedang ikut shalat bersama-sama. Puluhan tahun hidup tanpa kehadiran sosok ibu yang sangat banyak menularkan rasa cinta lewat pelukan, membuatnya belajar dari semua pendidikan yang alam berikan secara langsung. Karena, di bangku sekolah, tidak ada.
Waktu terus berjalan tanpa kenal lelah sedikit pun.
Bunda Ismi memberitahu Bunda Maya, anak yang berada di samping kirinya itulah orang yang dicari. Sosok bayi perempuan yang dibuang dulu. Hidup, cantik.
Ingin rasanya, Bunda Maya langsung memeluk anak itu. Namun, diurungkan. Tidak berani, karena isyarat Bunda Ismi mengatakan Jangan.
“Nanti saja! Belum memungkinkan! Tahan!” isyarat Bunda Ismi, mencegah Bunda Maya untuk tidak bertindak gegabah dalam mendekati Dinda.
Bunda Maya paham dengan apa yang dimaksud Bunda Ismi. Akhirnya, ia hanya bisa mencuri-curi pandang akan sosok di sampingnya. Kali ini, tetesan bening kembali menetes dari kelopak matanya. Tak sanggup lagi, ditahan. Sekadar untuk bertahan sebentar saja, tak bisa.
Selesai berdoa, Bunda Ismi meminta semua anak keluar, tidak ada yang boleh berada di mushala, kecuali Dinda. “Ada sesuatu yang ingin Bunda bicarakan dengan Dinda. Arahkan anak-anak mengaji di aula saja, Ustadz Sabda!” ucap Bunda Ismi.
Dinda bingung, karena hanya dirinya yang diminta tinggal. Tatapannya yang bingung tertuju kepada Ustadzah Muna, yang berada di sampingnya. Meminta penjelasan apa yang terjadi dengan isyarat mata. Hanya saja, Ustadzah Muna tak memberikan sinyal jawaban, selain memegang tangan Dinda. Hal itu, membuat Dinda semakin bingung. Berpikir ke mana-mana tanpa arah yang jelas, ngalor ngidul.
“Nak, jika Allah telah mengabulkan doa yang selama ini kamu panjatkan, salah satunya mengabulkan, bertemu dengan kedua orang tua. Namun, mereka hadir dengan deretan sejarah masa lalu kelam, apakah kamu ridha, menerima mereka kembali?” tanya Bunda Ismi lembut, tetapi tegas.
Dinda hanya diam. Perasaannya tidak menentu. Ia semakin bingung.
“Maafkan Bunda, Nak! Bunda adalah ibumu. Ibu yang mengandung, melahirkanmu. Selama ini, Bunda memang salah, Nak!” kata Bunda Maya, langsung memeluk Dinda, yang berada di sampingnya. Ia tak sanggup lagi, menahan semuanya.
Dinda terdiam, kaget. Rasa tidak percaya, kecewa, marah, senang, dan bahagia, bercampur aduk, menjadi satu.
“Kami memang salah, jahat melakukan ini kepadamu, Nak. Tega dan sampai hati, telah membuangmu. Tidak peduli dengan kehidupanmu. Padahal, kamu darah daging kami sendiri. Yang keluar dari rahim Bunda. Namun, apalah daya Bunda! Iblis telah menguasai jiwa kala itu.”
Dinda tetap diam. Sepatah kata pun tak keluar dari bibir mungilnya. Ia tak memberikan respon sedikit pun saat Bunda Maya memeluk, menciuminya. Hanya saja, tetesan airmata berurai, membasahi pipinya. Merasa tak percaya dengan semua itu. Antara nyata atau tidak.
“Bunda minta maaf, Nak. Ayahmu juga. Sebab, kami memang sudah keterlaluan.”