"Baiklah, saya akan beri sesuai yang kamu mau itu," putus Soraya setelah sempat beberapa saat berpikir.
Dalam hati, Shema tentu bahagia bukan main. Uang lima belas miliar sebentar lagi akan menjadi miliknya, meski dengan cara menukarkannya dengan sang kekasih. Sudah dibilang bukan, kalau Shema lebih menyukai uang dibanding pacar.
Memang sih, kalau dipikir-pikir secara panjang, jika Shema nantinya menikah dengan Denan, tentu tidak hanya lima belas miliar saja yang ia punya. Uang sampai triliunan, dan aset di mana-mana pasti akan Shema dapatkan. Tapi kan itu tidak mungkin. Seperti yang Soraya tadi bilang, bahwa Shema tidak pantas berhubungan dengan Denan. Jadi, sampai kapan pun Shema tidak akan pernah bisa menikah dengan laki-laki yang sebentar lagi jadi mantan pacar.
Shema tersenyum menatap Soraya yang wajahnya setia menampilkan raut permusuhan. "Kapan saya akan mendapatkannya, Nyonya?"
Soraya mendengkus sembari melengos. Gadis di hadapannya ini sungguh tidak sabaran sekali rupanya. "Setelah ini sekretaris saya yang akan mengurusnya. Kamu bicarakan saja dengan dia."
Senyum di wajah Shema semakin lebar. Bayangan uang lima belas miliar semakin menari-nari di otaknya. Shema berpikir, kira-kira uang sebanyak itu mau ia apakan ya?
"Tapi kamu harus menepati janjimu untuk meninggalkan anak saya sejauh mungkin. Putuskan hubungan dengannya, dan jangan beritahu tentang kesepakatan kita ini," ujar Soraya. "Jika kamu melanggar, saya tidak akan segan-segan membuat perhitungan denganmu, juga keluargamu."
Keluarga? Shema bahkan lupa arti keluarga itu seperti apa. Ia masa bodo dengan ancaman dari Soraya itu, yang terpenting kan ia dapat uang, lalu pergi menghilang dari pandangan Denan. Beres kan?
"Saya bukan orang yang suka ingkar janji, Nyonya," balas Shema.
"Saya pegang kata-kata kamu," kata Soraya, lalu setelahnya menyuruh seorang wanita berpakaian serba hitam untuk mendekat, dengan kode melambaikan tangan.
Shema melihat gerak-gerik itu, termasuk ketika seorang wanita yang ia taksir berusia tiga puluhan mendekat ke arah Soraya. Sedari tadi Shema melihat wanita itu duduk di kursi yang agak jauh darinya, dan Soraya. Shema tebak sih, wanita itu pasti orangnya Soraya.
Soraya bangkit dari duduknya, lalu membisikkan sesuatu pada wanita yang dipanggilnya tadi. Setelah itu, ia menoleh pada Shema sekali lagi. "Ini sekretaris saya yang akan mengurus kesepakatan kita tadi."
Selanjutnya Soraya pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan pada Shema. Kini giliran sekretaris Soraya yang duduk di depan Shema.
"Salam. Perkenalkan saya Adisti, sekretaris ibu Soraya."
"Kayaknya saya tidak perlu mengenalkan diri ya, karena Anda pasti sudah tau siapa saya. Majikan Anda kan sudah ngorek-ngorek informasi tentang saya, bukan tidak mungkin kalau Anda juga tau tentang saya," kata Shema.
Adisti tak menjawab, sebaliknya ia menyodorkan sebuah map kepada Shema. "Kamu tanda tangani dokumen kesepakatan ini."
Kesal karena tadi merasa tidak ditanggapi, Shema menerima map itu dengan ogah-ogahan. "Saya mau baca dulu boleh kan? Takutnya saya dijebak."
"Silakan."
Datar sekali sekretaris Soraya ini, Shema jadi merasa bosan. Untung tadi waktu membuat kesepakatan Shema langsung berhadapan dengan Soraya, jadi ia merasa mempunyai lawan yang sepadan.
Lupakan tentang sekretaris Soraya. Kini Shema fokus membaca isi dokumen kesepakatan yang diajukan oleh Soraya. Mencoba memahami poin demi poin agar ke depannya ia tidak dirugikan.