"Lo kalau bawa motor yang bener napa sih, Shem! Motor gue jadi penyok ini," omel Sesil, begitu turun dari boncengan motor, dan melihat bagian depan motornya sudah lecet, dan sedikit penyok. "Pulang nanti pasti gue diomelin nyokap gue."
"Ya sorry, Sil, gue lagi kurang fokus tadi. Gini aja deh, nanti gue bawa motor lo ke bengkel. Semua biayanya gue yang tanggung," kata Shema sedikit merasa bersalah.
"Emangnya lo punya duit?" Bukannya Sesil meremehkan Shema, tapi Sesil sangat paham bagaimana kondisi keuangan Shema. Ya sebelas dua belas dengannya yang berkantong tipis lah. Apalagi, selama ini Sesil tahu bahwa Shema tidak pernah diberi uang sama ayahnya.
"Ya punya lah. Udah pokoknya lo nggak usah khawatir," kata Shema.
"Sisa duit dari Denan ya?" tanya Sesil. "Mending lo simpen aja deh, buat kebutuhan lo nanti. Lo kan udah putus dari Denan, udah nggak ada yang kasih lo duit lagi. Setelah ini lo harus kerja keras bagai kuda lagi."
"Bukan dari Denan. Pokoknya gue punya duit banyak sekarang. Lo kalau mau minta gue beliin motor yang baru juga bisa gue beliin hari ini juga," kata Shema.
"Halah dari tadi lo ngomongnya ngawur terus sih, Shem! Jangan bilang gara-gara putus dari Denan, lo jadi sinting ya!" Bagaimana Sesil bisa percaya begitu saja pada ucapan Shema, mereka berdua sudah bersahabat sejak lama, rahasia sekecil apa pun saling tahu satu sama lain, termasuk kondisi keuangan masing-masing.
"Terserah deh lo mau percaya apa nggak." Shema sudah lelah berkata pada Sesil yang masih tidak mempercayainya. Salahnya juga yang belum menceritakan tentang pertemuannya dengan ibu Denan tadi. "Sekarang kita ke bank ya, gue beneran mau cairin duit. Ini motor masih bisa dibawa ke sana kok."
"Ya udah oke, tapi gue aja yang bawa motor. Takutnya nanti lo nabrak lagi. Masih untung tadi cuma nabrak tiang listrik, dan kita nggak kenapa-kenapa, kalau amit-amit nanti sampai nabrak lagi, dan ...." Aduh, Sesil tidak berani melanjutkan perkataannya.
=====
Wajah Shema begitu semringah setelah uang sebesar lima belas miliar kini sudah ada di tangannya. Sementara Sesil yang dari tadi menempeli Shema masih syok, dan tidak percaya. Sesil sibuk menebak-nebak, dari mana Shema bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Berbagai asumsi mampir di kepala Sesil, dari kemungkinan yang baik sampai yang buruk.