Tradisi pemikiran Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha telah terbukti dapat memproduksi terorisme religius. Terorisme yang berbasis pada agama sebenarnya sudah berumur sangat tua. Terorisme macam ini kerap terjadi terutama di era pramodern di mana agama sering dijadikan justifikasi utama bagi terorisme. Dalam sejarah Yahudi, misalnya, terdapat sekte radikal bernama Sicarii yang membantai sekte-sekte lainnya. Begitu pula di India, dikenal sebuah kelompok radikal bernama Thuggee yang membantai warga sipil sebagai bentuk persembahan pada Kali, dewi perusak dalam keyakinan Hindu. Teror juga dilakukan oleh tentara Kristen (Crusaders) dalam Perang Salib untuk membasmi populasi Yahudi dan muslim di Jerusalem. Tujuan mereka adalah untuk mengembalikan Jerusalem menjadi kota Kristen.1
Hal yang sama juga dapat ditemui dalam sejarah Islam. Dalam Islam, Khawarij dan Hasyasyiyin (Assassins) merupakan dua kelompok radikal yang menghalalkan pembunuhan terhadap kelompok-kelompok muslim lainnya. Khawarij melakukan penafsiran radikal atas Al-Quran untuk membangun teologi yang juga radikal. Pada gilirannya, teologi radikal ini melegitimasi perang melawan musuh politik yang mereka tuduh telah mengabaikan Al-Quran dalam memecahkan persoalan kepemimpinan. Sementara itu, Hasyasyiyin merupakan sempalan sekte Syi’ah yang dimotori oleh Hassan Sabbah. Kelompok ini menganggap diri mereka sebagai wakil Tuhan sehingga memiliki kewenangan untuk membunuh siapa saja yang berseberangan dengan mereka dalam hal keyakinan.2
Di era modern, terutama pasca-Revolusi Prancis 1789, terorisme yang dimotivasi oleh agama menjadi fenomena yang jarang ditemui. Ini bisa dipahami karena pada abad ke-18 dan ke-19 ideologi-ideologi yang muncul bercorak sekuler. Misalnya, nasionalisme dan Marxisme. Dua ideologi sekuler ini pada gilirannya memengaruhi kemunculan terorisme yang dijustifikasi dengan terma-terma sekuler, bukan lagi religius. Namun, pasca-Perang Dingin antara Barat dan Uni Soviet serta pasca-Revolusi Iran 1979, terorisme atas nama agama muncul kembali ke permukaan. Terorisme religius terus terjadi hingga kini. Contoh yang paling mencolok adalah serangan teror yang dilancarkan Al-Qaeda sebagai perlawanan terhadap dunia Barat.3
Pascaserangan Al-Qaeda pada 11 September 2001 di World Trade Center, New York dan Pentagon, terorisme menjadi isu global yang hangat dibicarakan. Terorisme dinilai menimbulkan konsekuensi yang luas, tidak hanya secara politis dan militer, tetapi juga secara ekonomis. Serangan 11 September kemudian diikuti oleh serangkaian bom bunuh diri di Bali pada 2002, Madrid pada 2004, London pada 2005, New Delhi pada 2005, dan Mumbai pada 2006.
Bom bunuh diri juga terjadi di kawasan-kawasan konflik seperti di Irak, Kashmir, Sri Lanka, Israel-Palestina, dan negara-negera lain di Timur Tengah. Di Indonesia, dari 2000 hingga 2011, setidaknya telah terjadi 30-an teror bom.4 Rentetan serangan teror yang terjadi lebih dari 12.000 kali di seluruh dunia itu telah mengakibatkan ribuan nyawa melayang.5
Ancaman terorisme global ini menimbulkan keprihatinan mendalam dan menuntut para peneliti untuk segera bergerak mengidentifikasi hakikat dan watak terorisme, akar-akarnya, serta cara penanggulangannya. Identifikasi hal-hal ini merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk mengenali apa itu terorisme dan mengapa tindakan kekerasan dilakukan oleh para teroris. Dengan melakukan identifikasi secara tepat, dapat diharapkan aksi-aksi terorisme bisa dicegah dan diintervensi. Kerangka berpikir semacam ini perlu ditekankan sejak semula sebab kelambanan penanggulangan terorisme selama ini banyak diakibatkan oleh kegagalan dalam mengidentifikasi terorisme itu sendiri hingga ke akar-akar ideologisnya.
Dalam beberapa dekade terakhir, para pakar terorisme telah berusaha merumuskan definisi terorisme yang dapat diterima secara universal. Namun, upaya ini mengalami kesulitan karena makna terorisme senantiasa bergerak dan berubah sepanjang sejarah. Pada periode tertentu, istilah “teror”—akar kata dari “terorisme”—merujuk pada sebuah instrumen politik yang digunakan oleh negara, tetapi pada periode lain ia merupakan taktik yang digunakan oleh kaum separatis untuk melawan otoritas pemerintah. Belakangan ini, teror sering dilancarkan oleh kelompok radikal muslim untuk memerangi Amerika dan sekutunya serta sistem-sistem politik di dunia Islam yang mereka anggap kafir.6