Ketika Rindu Bersujud Di Haramain

Bumi Bercerita
Chapter #4

4. Ragu & Rindu

Malam Madinah. Ia datang dengan kelembutan yang menyelimuti dan ketenangan yang meresap. Setelah pertemuan singkat dengan Hasan Al-Arif di perpustakaan, hati Aisyah tidak lantas damai. Justru, janji bertemu di Raudhah esok hari seolah menjadi jangkar kegelisahan yang menahan tidurnya.

Di kamar hotelnya, Aisyah duduk di tepi jendela, menatap ke arah Masjid Nabawi. Cahaya lampu hijau yang memancar dari kubah makam Rasulullah di kejauhan terasa seperti mercusuar agung yang memandu setiap jiwa yang tersesat.

 Cahaya itu begitu menenangkan, tetapi malam ini, Aisyah merasa cahaya itu juga menuntut pertanggung jawaban.

Ia teringat kembali setiap kata yang diucapkan Hasan. "Jangan bawa kesedihanmu terlalu lama ke Kota Nabi." Nasihat itu terasa seperti cambuk yang lembut namun membakar. Hasan seolah mampu membaca isi hati Aisyah, menelanjangi duka yang selama ini ia sembunyikan di balik senyum sakinah palsu.

Aisyah meraih Mushaf kecil milik Farhan. Di balik sampulnya, ada sebuah selipan kertas bertuliskan puisi Farhan, dibuat di awal pernikahan mereka:

 Cintaku, biarkanlah ia menjadi sungai. Mengalir tenang, tidak menuntut. Karena ia tahu, segala sesuatu akan kembali ke laut, kepada Pemiliknya.

Rinduku, biarkan ia menjadi doa. Terbang tinggi, tanpa perlu kata. Karena ia yakin, langit akan menyampaikannya tanpa perantara.

"Farhan, cintamu memang tak banyak menuntut, tapi justru janji ini yang menuntutku," bisik Aisyah pilu.

Lihat selengkapnya