Jika Madinah adalah kota kerelaan dan ketenangan, maka kenangan adalah lorong waktu paling kejam yang selalu menyeret Aisyah kembali ke Jakarta, ke kamar tidur mereka yang kini terasa sunyi, ke pangkuan Farhan yang kini hanya berupa bayangan.
Di tengah perjalanan menuju Mekkah, Aisyah duduk di kursi bus paling belakang, memandang hamparan gurun yang menjanjikan takdir. Namun, pikirannya berlayar jauh ke belakang, ke masa ketika janji haji mereka masih utuh, ketika tawa Farhan masih menjadi musik pengisi rumah.
......
Dua tahun setelah pernikahan mereka, Farhan didiagnosis mengidap Leukemia Limfoblastik Akut. Kalimat itu, yang diucapkan dokter dengan nada penuh penyesalan, terasa seperti petir di musim kemarau. Dunia Aisyah seakan runtuh, fondasi kebahagiaan mereka retak dalam sekejap.
Namun, Farhan menyambut takdir itu dengan senyum yang ganjil. Senyumnya bukan senyum pasrah, melainkan senyum menerima senyum yang menyimpan kekuatan spiritual yang tak tertandingi.
"Sayangku," kata Farhan suatu malam, saat Aisyah menangis tersedu di samping ranjang rumah sakitnya. Jari-jari Farhan yang kurus menyentuh pipi Aisyah. "Jangan menangis. Allah hanya menitipkanku padamu untuk waktu yang Ia kehendaki. Anggap saja aku sedang antri. Semua pasti akan pulang, Aisyah."
Aisyah memeluknya erat, mencium keningnya yang hangat. "Aku tidak takut kamu pergi, Sayang. Aku hanya takut bagaimana aku harus menjalani hari-hari tanpa cahaya darimu."
"Cahaya dariku? Itu tidak ada, Sayang. Cahaya kita hanya dari-Nya. Aku adalah aku, yang mencintaimu karena ketaatanmu kepada Allah. Jika aku pergi, ketaatanmu akan tetap bersinar, bahkan lebih terang. Itulah janji cinta kita."
Meskipun sakit, Farhan tidak pernah mengeluh. Perannya sebagai suami tidak pernah berkurang, justru bertambah. Bahkan di hari-hari terburuknya, saat tubuhnya melemah dan ia hanya mampu berbaring, ia selalu menyambut Aisyah dengan senyuman dan kata-kata puitis.
Aisyah ingat betul saat ia kelelahan merawat Farhan. Ia tertidur di kursi samping ranjang. Ketika terbangun, ia mendapati Farhan tidak tidur. Farhan menatapnya dengan mata penuh kasih.
"Mengapa kamu tidak tidur, Sayang? Apa ada yang sakit?" tanya Aisyah panik.