Hasan Al-Arif tiba di Mekkah dengan membawa sebuah beban yang bukan miliknya: kunci tembaga dan janji spiritual Farhan. Setelah menyerahkan amanah batin Aisyah kepada Allah di Raudhah, kini ia harus menunaikan janjinya kepada Farhan untuk menyingkap ‘Pintu Hijrah’ bagi Khalid.
Ia menemukan Khalid di sebuah sudut sunyi di Masjidil Haram, tidak jauh dari gerbang Raja Fahd. Khalid adalah seorang laki-laki paruh baya, tubuhnya kurus, wajahnya tampak lelah namun teduh, seorang relawan yang mengabdikan sisa hidupnya sebagai 'Pelayan Ka'bah', membantu jamaah manula atau disabilitas.
Khalid sedang membersihkan tumpahan air di lantai marmer ketika Hasan menghampirinya.
"Assalamu’alaikum, ya Akhi Khalid."
Khalid mendongak. Matanya yang sayu melebar. Ia berdiri tegak, terkejut melihat sosok yang bertahun-tahun ia cari dalam diam.
"Wa’alaikumussalam... Hasan? Astaghfirullah! Apakah benar ini engkau, Hasan? Sudah berapa lama engkau hilang, Akhi?" Khalid memeluk Hasan erat, pelukan persahabatan yang sarat kerinduan dan penyesalan masa lalu.
"Allah yang mempertemukan kita lagi, Akhi," jawab Hasan, menepuk punggung Khalid lembut. "Aku datang membawa salam dan amanah dari seseorang yang kita cintai."
Wajah Khalid yang tadi berseri mendadak berubah muram. "Apakah... apakah Farhan baik-baik saja?"
Hasan menarik napas panjang, menatap Ka'bah yang agung di kejauhan. "Farhan kini berada di tempat yang jauh lebih baik dari kita, Akhi. Ia telah mendahului kita, tujuh bulan lalu."
Khalid terhuyung. Ia berpegangan pada tiang marmer di dekatnya. Air matanya menetes tanpa bisa ia cegah, membasahi kain lap yang ia pegang.
"Farhan... Ya Allah. Mengapa Engkau ambil dia begitu cepat? Ia adalah orang yang paling berhak menghirup udara di sini," lirih Khalid, suaranya tercekat. "Ia adalah mutiara yang hidupnya hanya berisi cahaya."