Setelah menyerahkan kunci tembaga kepada Khalid, Hasan merasa ada rantai berat di hatinya yang terlepas. Ia kembali ke Madinah, menanti Aisyah menyelesaikan hajinya. Selama menunggu, benaknya justru ditarik kembali ke Yaman, ke hari-hari pertama pertemuannya dengan Farhan sang penjual kopi dan penyebar cahaya.
Di Sudut Kota Tua San'a. Yaman. Di mata dunia, ia adalah negeri konflik. Namun, bagi para penuntut ilmu seperti Hasan dan Farhan, Yaman pada masa itu adalah Negeri Hikmah (Darul Hikmah), tempat para ulama besar bersemayam dan ilmu mengalir deras.
Saat itu, Hasan adalah mahasiswa yang gigih, namun hidupnya serba kekurangan. Ia sering hanya makan roti tawar keras dan air putih untuk menghemat uang. Harga buku dan biaya hidup yang mahal di Kota Tua San’a sering membuatnya putus asa.
Suatu pagi yang dingin, Hasan duduk di balik tiang Masjid Jami’ Al-Kabir, tubuhnya menggigil bukan hanya karena udara Yaman yang menusuk, tetapi juga karena lapar. Ia menunduk, mencoba membaca kitab Shahih Bukhari, namun matanya tak mampu fokus.
Tiba-tiba, aroma yang asing namun sangat akrab menyapa indra penciumannya: aroma kopi, wangi, pekat, dan tajam.
Seorang pemuda dengan sorot mata cerdas dan senyum sehangat mentari muncul di hadapannya. Ia membawa termos besar dan beberapa cangkir keramik.
"Assalamu’alaikum, Akhi. Kulihat wajahmu pucat. Izinkan aku memberimu sedikit kehangatan dari tanah kelahiranku. Ini Kopi Toraja, dari gunung-gunung di Nusantara," sapa pemuda itu. Dialah Farhan.
Hasan mendongak. Ia merasa tersentuh oleh kebaikan yang begitu tiba-tiba. "Wa’alaikumussalam. Tapi aku tidak punya uang, Akhi. Maaf."
Farhan tertawa kecil. Tawa yang renyah dan tulus, seperti air yang memecah kebekuan es. "Siapa bilang aku menjualnya padamu? Ini adalah shadaqah (sedekah) untuk para penuntut ilmu yang gigih sepertimu. Minumlah. Kopi ini akan menghangatkan semangat belajarmu."