Ketika Rindu Bersujud Di Haramain

Bumi Bercerita
Chapter #10

10. Surat Terakhir Di Laci Pertobatan

Khalid Al-manawirr mantan sahabat Farhantiba di kamar kos lamanya di Mekkah. Kamar itu terletak di sebuah gang sempit, jauh dari gemerlap Masjidil Haram. Kamar itu adalah saksi bisu masa kelamnya dulu, masa di mana ia hampir kehilangan iman dan arah hidupnya.

Ia memasuki ruangan yang berdebu itu. Aroma masa lalu yang pahit menyeruak. Matanya langsung tertuju pada sebuah laci kayu yang sudah usang di sudut ruangan. Laci itu adalah tempat ia biasa menyimpan buku-buku catatan kelamnya tentang perjudian.

Dengan tangan gemetar, Khalid memasukkan kunci tembaga dari Farhan. Kunci itu berputar mulus. Farhan pasti sudah lama merencanakan momen ini.

Laci itu terbuka. Di dalamnya, tidak ada buku catatan kelamnya. Hanya ada dua benda: sebuah surat tebal yang sampulnya menguning, dan sebuah amplop kecil berisi sejumlah uang tunai.

Khalid mengambil surat itu. Tulisan tangan di sampulnya adalah tulisan Farhan, rapi dan indah.

Kepada Sahabatku, Khalid.

Aku tahu, jika surat ini sampai padamu, berarti engkau sudah berada di jalan hijrah yang sesungguhnya. Aku bangga padamu.

 > 

Air mata Khalid langsung menetes, membasahi tinta surat itu. Kata-kata Farhan yang begitu sederhana namun penuh makna menghantam pertahanannya.

Surat Farhan: Permintaan yang Meluluhkan

Khalid membuka surat itu. Ia duduk di lantai yang dingin, membiarkan Baitullah menjadi saksi tangis penyesalannya.

Farhan mengawali suratnya dengan mengenang masa-masa indah mereka di Yaman, tawa mereka saat membaca kitab, dan janji mereka untuk saling menjaga hingga ke Surga. Namun, ia segera beralih ke inti surat:

Lihat selengkapnya