Adzan magrib selesai terdengar pada beberapa menit yang lalu. Terlihat seorang anak perempuan mengaca di cermin ruangan tengah sambil memainkan sisir di rambutnya. Sementara itu, kakak laki-lakinya yang terpaut jauh dengan umurnya menyalakan starter sepeda motor di depan teras rumahnya.
“Waduh kayaknya mau hujan nih. Nggak ada bintang satu pun yang kelihatan.” Gibran mengamati langit sambil memanasi motornya terlebih dulu sebelum dibawanya pergi.
Baru saja hendak menarik gas, rintik mulai mengenai tangannya. “Lhah malah hujan beneran.” Pemuda yang sudah tujuh belas tahun itu menengadahkan telapak tangannya sambil menoleh ke atas. Dia pun segera memutar balik motornya, tidak jadi pergi. Sambil memasukkan motornya kembali ke garasi dia berseru ke adiknya. “El, beli kamus bahasa Jepangnya besok aja ya. Hujan nih.”
Garasi di rumah mereka menembus sekat ke ruang tamu sehingga Gibran tidak perlu lagi repot-repot ke luar garasi untuk masuk ke dalam rumah.
“Besok aja terus! Dari kemarin bilangnya besok terus perasaan.” Anak kecil bernama Kelabu itu hilang moodnya. Dia bergegas menguncir rambutnya yang sebahu.
Gibran masuk ke dalam rumah melalui ruang tamu menghampiri adiknya. “Hujan tahu. Pengertian dikit kek jadi bocah. Kalau nggak hujan juga sudah berangkat dari tadi.”
“Kemarin-kemarin juga nggak hujan, tapi nggak dibeliin juga kan?!”
Kelabu merasa sangat kecewa dengan kakaknya. Suasana hatinya makin buruk. Pasalnya, dia sudah dua minggu meminta tolong kepada kakaknya untuk membelikannya kamus bahasa Jepang karena dia suka sekali menonton doraemon. Anak kecil berparas hitam manis itu menaruh kasar sisirnya dengan sembarangan. Dia melangkahkan kakinya dengan dihentak-hentakkan menuju ke kamar. Gibran mengamati tingkah adiknya yang keras kepala itu.
“Brakkk....” Kelabu membanting daun pintu kamarnya.
“Emangnya aku pembantumu apa?! Seenaknya nyuruh-nyuruh orang!” Gibran tampak naik pitam. Dia marah dan melampiaskannya pada toples kerupuk di meja makan.
Mendengar keributan, ibu dari kedua anak itu keluar dari dapur. “Heh, kalau bermasalah sama anaknya yang dilempar ya anaknya. Jangan benda yang dijadiin sasaran!” Bu Maryati turut emosi melihat toples kerupuk yang baru dibeli malah dipecahkan oleh Gibran. “Beresin buruan!”
Gibran pun mengambil sapu dan ekrak untuk membersihkan pecahan toples dan kerupuk yang berserakan di lantai. Dia mengerjakannya sambil meredakan emosinya.
“Ya sudah sana, biar ibu yang bersihkan.” Nada bicara Bu Maryati menurun. Dia tidak tega melihat Gibran tidak selesai-selesai membersihkannya. Meskipun terkadang keras, seorang ibu tetap saja mengasihi anaknya. Pemuda berlesung pipi itu masuk ke dalam kamarnya, meredakan emosinya hingga tuntas.
‘Ngapain sih, Bran, pakai acara ngelempar-lempar toples segala ha??! Gitu aja nggak bisa nahan emosi. Yang salah tuh emang kamu. Ela sudah minta beliin udah lama, tapi kamunya belum beliin juga. Masih pakai nyalahin hujan segala lagi. Ya wajarlah dia kecewa. Kakak macam apa kamu ha?!’ Gibran memarahi dirinya sendiri. Dia menyesali perbuatannya.
Sementara itu, di dalam kamarnya Kelabu menangis sesenggukan dengan meredam suara di atas kasur. Dia sudah terbiasa menangis seperti itu sehingga dia lihai sekali menahan suara dalam linangan air matanya. Apalagi suara tangisannya samar dengan derai hujan. ‘Dari dulu aku memang tidak diharapkan terlahir di dunia ini. Nggak ada yang sayang sama aku. Kenapa aku dilahirkan di tengah-tengah keluarga ini Ya Allah?’ Batinnya sambil mengelap air matanya yang hendak masuk mulut.
Kelabu berpindah posisi karena bantalnya sudah basah terkena tangisannya. Dia sudah lelah menangis. Seiring reda tangisnya, dia tidak lagi mendengar rintik hujan. Tiba-tiba dia teringat Lila, sahabat sekaligus tetangganya. Anak perempuan yang begitu mungil itu mengusap sisa air mata di pipinya. Dia menghembuskan napasnya sambil beranjak duduk. Setelah memastikan tidak ada bekas tangisan di wajahnya, dia berdiri mengambil langkah untuk ke luar dari kamarnya. Sebenarnya dia enggan keluar kamar karena malas sekali bertemu dengan kakaknya, tapi dia sudah sangat suntuk dan sahabat adalah tempat terbaik untuknya kembali ceria.
Baru melewati satu rumah, Kelabu yang biasa dipanggil Ela itu berpapasan dengan Biru. Kelabu tidak menyadari ada sahabatnya yang memperhatikan dirinya karena dia berjalan sambil menundukkan kepala. “El, mau ke mana?”
Sontak, anak kecil berambut coklat tua itu mengangkat wajahnya. “Ke rumah Lila. Mau ikut?”