Adzan subuh mulai terdengar di segala penjuru desa. Dapur rumah Biru sudah sibuk sedari beberapa menit yang lalu. Tercium aroma telur dadar dan gorengan sambal terasi yang sudah tersaji di balik tudung saji. Bu Sumirah meninggalkan dapur, berjalan ke kamarnya. Terlihat seorang anak laki-laki kecil yang meringkuk di atas kasur tipis nan lembab.
“Le, Biru, bangun, Nang. Sudah subuh, mandi terus salat ya. Ibu bentar lagi berangkat ke sawah.” Bu Sumirah menggoyang pelan tubuh lelaki kecil berkulit hitam legam itu.
Biru hanya mengolet dan berpindah posisinya mungkin tubuhnya terlampau lelah setelah bekerja semalaman bersama ibunya di rumah Kelabu. Ibunya meninggalkannya sejenak. Lalu, kembali lagi mengenakan mukena dan menunaikan kewajibannya di samping ranjang, tempat Biru tidur.
Sementara itu, rumah Kelabu tidak kalah sibuk. Bu Maryati dengan gesit menyiapkan nasi goreng di meja makan. Tak lupa, secangkir kopi disiapkannya untuk suaminya. Wanita setengah baya itu menghampiri suaminya yang duduk di teras sedang rokoan. Tampak halaman rumah sudah selesai dibersihkan.
“Sudah siap, Yah, nasi gorengnya.”
Pak Basuki menoleh ke arah istrinya yang segera berbalik kembali seusai melontarkan kalimatnya. Lelaki itu menghisap rokoknya yang sudah pendek sekali lagi, lalu dicecaknya di asbak. Dia berjalan masuk ke meja makan, sedangkan istrinya mengurus jemuran sambil meneriaki anak-anaknya. “Bran, El, bangun! Sudah siang!”
Namun, tidak ada yang keluar dari kamarnya.
Di rumah Lila, terlihat Pak Bondan menyapu pelataran depan rumah dengan sapu lidi. Sementara itu, di rumah Jingga terlihat Bu Darwati, ibunya Jingga, mulai mengucek-ucek matanya. Dia baru saja bangun dari tidurnya ketika suaminya hendak memanasi angkutan umum miliknya. “Tak bikinin teh ya, Pa.”
“Salat dulu aja, Ma. Tadi papa sudah masak mie goreng instan buat lauk.”
Mendengar penuturan suaminya, wanita berbadan ideal itu tersenyum. Meski tidak cantik, bagi suaminya itu adalah senyuman yang meluluhkan hati. “Nggak pa pa biar sekalian melek dulu, Pa.”
Bu Darwati mulai menyeduh teh kantong. Berbeda dengan Pak Basuki, ayah Kelabu, yang enggan menyentuh pekerjaan rumah, Pak Tejo terbiasa membantu istrinya untuk sekadar membuat sarapan maupun menyapu rumah. Bahkan, Pak Tejo tidak pernah memarahi istrinya.
Matahari mulai berani menampakkan diri. Semburat orange sudah mulai merekah di langit Timur. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.15 WIB. Biru baru saja selesai mandi, sedangkan Lila sedang mengecek ulang jadwal pelajaran dengan menyampirkan handuknya di pundak. Setelah dirasa benar dan sesuai jadwal, dia berjalan ke kamar mandi. Di kamarnya Jingga masih malas-malasan di kasur. Mamanya dengan sabar dan penuh kasih sayang membangunkannya sampai dia mau membuka mata. “Yuk mandi, Nak. Sudah siang lho. Nanti kamu bisa terlambat ke sekolah kalau nggak segera bersiap-siap.”
Berjarak empat rumah dari sana terdengar keributan. Bu Maryati membanting pintu kamar Kelabu. “Kamu mau sekolah apa nggak?! Teman-temanmu sudah pada berangkat semua!”
Wanita yang mengenakan daster sedengkul itu berpindah ke kamar anak keduanya. “Bran!” Bu Maryati berusaha membuka pintu kamar Gibran, tapi dikunci dari dalam. “Dok, Dok, Dok!!! Bangun! Sudah jam setengah tujuh lewat. Telat ke sekolah rasain ya nanti! Bunda nggak mau datang ke sekolah lagi gara-gara kamu telat!” Kalimat itu selalu muncul setiap pagi, tapi tetap saja Bu Maryati selalu datang ke sekolahan Gibran saat mendapat surat panggilan orang tua dari wali kelasnya.
“Pokoknya Bunda nggak mau lagi bangunin kalian! Terserah kalian mau sekolah apa enggak. Bunda beliin sapi, biar kalian menggembala kalau nggak mau sekolah!”
Bu maryati kembali mengambil sapu. Wanita itu menyapu rumahnya. Melihat keduanya anaknya tidak ada juga yang menampakkan batang hidungnya, Bu Maryati makin naik darah. Dia mengetok-ngetok pintu kamar Gibran berkali-kali dan cepat dengan gagang sapu di tangannya. “Punya anak kok susah dibangunin semua! Ya Allah salah apa aku Ya Allah. Anak ini dua-duanya nyusahin orang tua aja. Bikin naik darah setiap hari. Kalian seneng ya kalau bunda cepet mati ha?!”
“Hus... sudah biarin saja. Nggak berangkat sekolah ya sudah. Nanti yang nyesel mereka sendiri.” Ayah kedua anak yang sedang menjadi sasaran amukan bundanya itu kembali menyeruput wedang kopinya.
Mendengar ayahnya angkat bicara, Gibran membuka matanya. Jika ayahnya sudah angkat suara, itu tandanya sudah menjadi masalah yang serius dan tidak main-main. Apalagi, Gibran sangat takut dan menghormati ayahnya. Perjaka itu memencet tombol on di ponselnya. Dilihatnya jam di layar ponsel, ternyata belum ada setengah tujuh, tapi bundanya melebih-lebihkannya. Dia terlampau hapal dengan cara bundanya membangunkannya sehingga dia tetap saja santai. Diambilnya handuk yang dia sampirkan di cantolan belakang pintu. Dia membuka pintu kamarnya masih dengan mata setengah merem.
Setelah berhasil membangunkan putranya, Bu Maryati kembali menghampiri kamarnya bersama anak bungsunya. “El, aku kunci dari luar ya! Biar nggak sekolah sekalian!” Wanita bertubuh agak berisi itu pura-pura mengunci kamar putrinya sehingga timbul suara, “Jeglek, jeglek.”
Kelabu pun sama sekali tidak panik karenanya. Dia pun begitu hapal dengan kebiasaan bundanya ketika membangunkannya untuk ke sekolah. Dia membuka mata dan duduk perlahan. Kelabu bangun bukan karena takut amarah bundanya, hal itu terlampau biasa didengarnya, melainkan karena dia terganggu dengan kebisingan yang diciptakan bundanya. Dengan setengah sadar dia menuju ke meja makan untuk memakan jatah nasi gorengnya. Hal itu biasa dia lakukan agar bisa bergantian kamar mandi dengan kakaknya tanpa harus membuang waktu sia-sia dan telat karenanya. Dia juga sudah terbiasa sikat gigi setelah sarapan, jadi mandi setelah sarapan merupakan pilihan yang tepat untuknya. Kebiasaan itu diperoleh kelabu dari film kartun edisi kesehatan gigi yang ditontonnya.
***
Gibran buru-buru membuka garasi. Jarak ke sekolahannya tidak dekat. Jika tidak bergegas, pemuda jangkung nan gagah itu bisa terlambat dan mendapat surat panggilan untuk diberikan ke orang tuanya, lagi. Ketika dia ke luar rumah, ternyata sudah ada Biru berdiri di jalan depan pagar rumah. “Bukain gerbangnya, Ru!” Gibran berseru dari atas sepeda motornya.
“Eh, bentar, bentar, Kak.” Biru terkesiap dan dengan sekuat tenaga mendorong gerbang yang tadinya sedikit terbuka menjadi agak lebar sehingga muat dilewati sepeda motornya Gibran. “Buru-buru banget, Kak. Takut dapat surat panggilan orang tua lagi ya? Kasian tante Mar ke sekolahan terus, Kak.”