Ketika Rumah Bukan Tempat Tinggal

Putri Zulikha
Chapter #4

Buku Bekas

“Ga, aku tidur dulu ya. Nanti kalau bu guru udah masuk, tolong bangunin aku.” Kelabu berpesan pada teman sebangkunya.

“Oke deh siap.” Jingga sudah setiap hari mendapat mandat itu dari Kelabu sehingga dia tidak heran lagi dengan kebiasaan temannya.

Tidak berselang lama, ibu guru pelajaran ipa masuk ke kelas. “Selamat pagi, anak-anak.”

“Pagi, Bu.” Semua siswa menjawab serentak, kecuali Kelabu. Jingga menggoyang-goyangkan badan temannya itu. “El, udah ada bu guru lo.” Jingga berbisik ke telinga anak kecil berambut kepang dua itu.

“Hem.” Kelabu menegakkan badannya. Dia berusaha sekuat yang dibisa untuk membuka matanya. Sampai-sampai, saking ngantuknya, dia memegangi kelopak matanya dengan kedua tangannya agar tetap melek.

Seperti biasa, bu guru ipa selalu saja menyelipkan cerita tentang kedua kakaknya Kelabu untuk memotivasi murid-muridnya. “Kalian itu harus belajar yang rajin biar nanti bisa sukses. Orang yang pintar tidak mudah dibodohi orang lain. Tiru kedua kakaknya Kelabu. Meskipun laki-laki, mereka bisa membuktikan semangatnya untuk bersekolah. Sebenarnya memang otak laki-laki kapasitasnya lebih besar daripada perempuan. Jadi nggak heran mereka selalu menjadi juara kelas. Sayangnya di kelas ini kok laki-lakinya pada melempem itu gimana ya?”

Bu guru berambut seleher dengan bandana hitam itu menyisir ke seluruh ruangan. Dia mengamati murid-muridnya, terutama ke pojokan tempat para murid laki-laki bersemayam. “Ya... kecuali Tio yang selalu dapat ranking dua.” Bu Artini melihat teman sebangku Lila sejenak.

Begitu saja pelajaran berlangsung hingga bel istirahat dibunyikan. “Saatnya istirahat.” Mendengar bunyi bel, semua anak menjadi senang dan bersemangat.

“Yaudah halaman 32 sampai 33 jadi PR ya.”

“Iya, Bu.” Jawab semua siswa serentak. Bu guru meninggalkan ruang kelas.

“Enak ya jadi guru, tinggal cerita tiba-tiba sudah waktunya istirahat. Habis itu ngasih PR, istirahat di kantor. Kalau malas ke kelas, tinggal minta tolong sekretaris buat nyatat di papan tulis. Yang ramai disuruh nyatat ketua kelas. Sudah deh beres. Nanti, kalau besar aku ingin menjadi guru saja ah.” Kelabu memberi tahu Jingga sambil berpanggu dagu sehingga pipinya terlihat lebih tembam. Si bocah mungil yang menggemaskan itu bermalas-malasan di meja. Sementara yang diajak bicara menarik bibirnya ke atas.

“Kalau aku sih bercita-cita jadi pramugari saja biar bisa naik pesawat setiap hari. berdandan cantik lagi.” Anak perempuan yang berkulit putih itu bergaya dengan menolehkan mukanya ke kanan dan ke kiri disertai senyuman centilnya, sedangkan tanggannya memainkan rambut keritingnya.

“Ih ngeri tahu. Kalau kamu jatuh gimana?”

“Ya, ya-...” Jingga gelagaban. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan Kelabu.

Kelabu kembali merebahkan kepalanya di atas meja. Matanya terasa berat sekali. Waktu istirahat masih tersisa sekitar sepuluh menit. ‘Lumayan buat ngilangin ngantuk,’ batinnya. Namun, baru saja dia hendak terlelap, sudah ada tangan jail yang memainkan rambut coklat tuanya itu. Dia memang bukan bule, tapi entah kenapa rambutnya tidak berwarna hitam. Mungkin karena dia sering bermain di panasan.

“El, bangun... perasaan yang tidurnya malam-malam aku deh. Kenapa jadi kamu yang suka ngantuk?” Biru terus mengganggu Kelabu agar terbangun. Anak laki-laki itu tidak mengindahkan Jingga sehingga Jingga pun memilih untuk beranjak dari duduknya.

“Emh... sana ah!” Kelabu menghempaskan tangannya untuk mengusir sahabatnya itu dengan mata yang tetap terpejam.

“El, kamu nggak mau ke lapangan belakang sekolah? Ada penjual buku bekas lo.”

Kalimat iming-iming yang keluar dari mulut Lila manjur. Kelabu langsung duduk tegap. Dia mengambil botol minumnya, diteguknya beberapa kali. “Yuk ke belakang.”

Kelabu memang selalu tergiurkan dengan buku dan gambar. Tentu saja bukan buku pelajaran. Dia sangat anti dengan mereka. Yang dia suka adalah buku bergambar yang menceritakan berbagai dongeng, fabel, legenda, dan segala kisah yang sangat menarik hatinya.

“Giliran yang ngajak Lila aja bangun. Hu....” Biru berjalan di belakang Kelabu dan Lila. Dia menoel kepangan Kelabu.

“Kan aku mau beli majalah bobo sama buku mewarnai, Bi.”

“Emangnya sakumu berapa?”

“Dua ribu. Pas kan? Harga satunya kan seribu. Lagian sebentar lagi pulang. Jadi, gausah jajan deh. Emang kamu mau jajan?”

“Nggak. Aku nggak punya uang saku hari ini.”

“Oh iya, besok malam baru gajian ya kamu.” Sabtu malam minggu adalah jadwal gajian seluruh karyawan ayahnya Kelabu, termasuk Biru dan ibunya.

“He’em.”

Kelabu tidak bertanya lagi karena dia sudah tahu jika Biru tidak diberi uang saku berati ibunya Biru sedang tidak ada uang lebih. Itu tandanya uang mereka sudah dipakai untuk keperluan lain dan untuk bertahan hidup. Ibunya Biru juga sengaja menyisihkan gaji Biru untuk kebutuhan sewaktu-waktu, termasuk untuk biaya sekolah Biru nantinya. Jika tidak begitu, mereka akan kesusahan jika saat membayar sekolah telah tiba. Meskipun sekolah di negeri tetap saja butuh uang untuk membeli seragam dan buku. Apalagi, ibunya harus memberi uang saku kepada kakak perempuannya Biru, setidaknya buat biaya naik angkutan umum. Namun, karena siswa SMP pulangnya siang, ibunya Biru tidak tega jika tidak memberinya uang saku lebih hanya sekadar cukup untuk membeli es ketika memang tidak ada uang.

“Kamu mau beli buku apa, La?”

“Aku mau cari buku berhitung ah sama teka-teki silang kalau ada. Satu aja tapi belinya biar uangnya bisa ditabung.”

“Nggak pa pa kalau buat beli buku, La. Kalau buat beli jajan baruuu harus berhemat.”

Lihat selengkapnya