Ketika Rumah Bukan Tempat Tinggal

Putri Zulikha
Chapter #5

Perkara Barang Bekas

Pelajaran di sekolah Gibran juga telah usai. Suara motor mulai terdengar bising dari parkiran. “Duluan ya, bro.” Satu-satunya teman laki-laki di kelasnya pamit pulang terlebih dulu.

“Oke, tiati ya, sob.” Gibran menggendong tasnya menghampiri Aisyah yang sedang memberesi bukunya. “Kamu sudah enakan belum?” Gibran mengecek suhu tubuh gadis gingsul itu. “Aku anterin pulang ya.”

“Nggak usah, kamu kan harus salat Jumat.” Aisyah tersenyum manis. Gadis itu tampak begitu cantik meski terlihat pucat.

“Nggak pa pa, kan aku bisa Jumatan di masjid desamu nanti. Pokoknya aku anterin. Jangan protes! Lagian, sudah tahu sakit, masih aja berangkat sekolah. Izin sehari kan bisa.”

Yang diomeli hanya diam saja.

“Sini tasnya biar aku yang bawa.”

“Nggak usah. Malu tahu. Aku masih kuat kok. Lagian kan enteng bawaan hari ini.”

Sepasang muda-mudi itu berjalan bareng sepanjang koridor sekolahan. Ada beberapa tatapan yang terlihat iri dan kurang suka. Ada juga yang tampak heran. “Mereka pacaran ya kok pulangnya bareng?”

“Dari mana aja lo. Udah lama kali, udah sebulan lebih.”

“Beruntung banget sih tu cewek bisa dapetin Gibran, udah ganteng, badan atletis, soleh, pintar lagi. Duh kurang apa coba? Nggak ada kurangnya. Idaman banget nggak sih...”

“Hush, dilarang mengagumi pacar orang!”

“Ya kan nggak pa pa, orang sebatas kagum doang kok. Pengen deh jadi ceweknya....”

“Tuh kan ngelantur kan. Masih ada Nino tuh yang masih singgel.”

“Oh iya ya, yaudah deh aku sukanya ke Nino aja. Heran ya, di kelas mereka cowoknya cuma dua, tapi kebagian yang ganteng semua. Eh di kelas kita banyak cowoknya, tapi nggak ada yang bisa dipilih. Nasib, nasib.”

Ada juga suara-suara lain dari teman sekolah yang melihat mereka. “Ih ngapain sih Gibran sama tuh cewek. Mendingan juga aku.”

“Heh ngaca dong, cantikan si Aisyah ke mana-mana lagiii.”

“Iya, cocok ya mereka berdua, cantik sama ganteng.”

“Ih pokoknya cantikan aku, titik!”

***

Setelah berganti baju, Kelabu segera pergi bermain. “Mau ke mana, El? Makan dulu!” Bu Maryati meneriaki putrinya.

“Belum lapar. Nanti habis main makan.” Kelabu meneruskan jalannya ke rumah Lila. “Lir-ilir lir-ilir tandure wus sumiler, tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar....” Kelabu bersenandung sambil berlari-lari kecil dengan sedikit melompat riang karena saking bersemangatnya mau bermain dengan teman-temannya.

“Assalamualaikum...” Kelabu mulai memasuki rumah Lila.

“Nah gitu dong salam dulu kalau masuk ke rumah orang, El.”

“Lhah si Om juga, bukannya dijawab salamnya malah...”

Pak Bondan segera menyaut. “E-iya, waalaikumsalam, hehehe... maklum orang tua, El.”

“Kemarin juga harusnya Ela, maklum anak kecil...”

“Tetep ya jawab terus ya.”

“Hehehe...” Kelabu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Baru juga mulai qiro’, Om, sudah siap aja.” Ela melihat penampilan papanya Lila yang telah memakai sarung, kemeja, dan peci di kepalanya.

“Datang duluan kan pahalanya besar, El. Tuh Lila di kamarnya. Om berangkat dulu ya.”

“Siap, Om.”

“La, papa berangkat salat Jumat dulu. Disamperin Ela nih.” Pak Bondan mengencangkan suaranya dan beranjak meninggalkan rumahnya dengan berjalan kaki.

“Iya, Pa.” Lila keluar dari kamarnya, menemui Kelabu. “Jadi main sudah manda?”

“Jadilah. Ayo kita buat bentuknya dulu. Mau sudah manda apa? Pesawat atau almari?” Kelabu keluar rumah, diikuti Lila.

“Almari aja deh.”

Kelabu mulai menggambar persegi panjang di tanah, depan rumah Lila, dengan menggunakan ranting kering. Sementara tu, Lila sedang mencari pecahan genteng yang berbentuk segi empat untuk dijadikan gucuk (alat untuk permainan yang menjadi kepemilikannya).

Gucuk-mu mana, El?”

“Ada, kusimpan di bawah pohon pisang. Gucuk andalan itu.” Gambar persegi panjang yang telah selesai digaris menjadi enam bagian itu ditinggalkannya untuk mengambil gucuk-nya. “Ayo suit, siapa yang main duluan.”

Lihat selengkapnya