Di ruang makan terdengar bunyi piring dan sendok yang bersentuhan sesekali. Ada selingan suara tawa dan ledekan yang menyerang Kelabu dari kakak dan sahabatnya. Sambil menyantap makanannya, Gibran mengajak Biru ngobrol.
“Tuh lihat, Ru. Makannya Ela kayak porsi makannya kucing kan?”
“Iya, Kak. Dikit banget. Nasi sama lauk aja banyakan lauknya.”
“Ya itu temanmu kayak gitu, Ru. Gitu aja susahnya minta ampun kalau disuruh bunda makan. Pasti harus dimarahin dulu.”
“Aku nggak budek lo.” Yang dibicarakan menyahut dengan muka datar sambil menyendok makanannya.
“Emang siapa yang bilang kamu budek, El? Hu....”
Ela melirik tajam kakaknya yang duduk di sebelahnya.
Kakaknya memang selalu suka mengusili dia. Bahkan, Gibran sering kali membuatnya menangis. Dari dulu dia sangat senang menggoda adiknya hingga membuatnya menangis. Namun, sekarang sudah berkurang karena Kelabu sudah mulai besar.
“Dia di sekolah gimana, Ru? Pasti dia males ya anaknya?”
“Di sekolah Ela tidur terus, Kak. Kalau bu guru nerangin dia malah tidur, tapi pas disuruh maju ngerjain soal dia bisa.”
“Kerjaannya tidur kok bisa dapat ranking tiga, El, El.”
Bu Maryati yang lewat gatal untuk menyahut pembicaraan mereka. “Halah, kayak kamu nggak aja! Belajar aja pas mau ulangan doang.”
“Malu deh sama diri sendiri huuuu....” Ela memajukan muka ke arah kakaknya dengan memonyongkan bibirnya, menyoraki kakaknya.
Gibran menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia salah tingkah. “Ehehe, tapi kan aku selalu dapat ranking satu paralel.”
“Iya, Kak Gibran sama Kak Khamid itu sering banget diceritain sama Bu Artini. Katanya, ‘anak-anaknya Pak Basuki kok pintar-pintar semua itu dikasih makan apa ya?’ gitu.”
“Ya kalau aku sama Kak Khamid sih emang pintar ya, tapi kalau yang satu ini...” Gibran menyenggol adiknya.
“Aduh...” Kelabu memelototi kakaknya. Nasi yang sudah disendoknya jatuh. Untung saja jatuhnya masih di piringnya. Kalau sampai jatuh di lantai, dia bisa habis dimarahi bundanya. “Kalau tadi aku udah masukin ke mulut terus aku keselek gimana?”
“Ya kan kalau, yang penting kan nggak.”
Biru hanya senyum-senyum saja mendengar pertengkaran kakak dan adik itu. Anak laki-laki itu diam-diam merindukan momen kebersamaannya dengan bapaknya. Dia juga berharap bisa sedekat itu dengan kakaknya, tapi sayangnya mereka tidak memiliki meja makan sehingga mereka tidak pernah makan bersama-sama. Lagi pula, keluarganya tidak memiliki jadwal makan yang bersamaan. Mereka makan jika dirasa lapar tanpa menunggu yang lain.
***
Biru pulang ke rumahnya. Kakaknya sedang di ruang tamu, menatap layar televisi yang banyak semutnya. Televisinya masih berupa tv yang memiliki tabung besar dibelakang layar perseginya. Gadis remaja yang telah berkembang fisiologisnya melebihi teman-teman seumurannya itu sedang asyik menonton ftv berbau cinta-cintaan. Sementara itu, ibu mereka sedang melipat baju.
“Assalamualaikum.” Biru melihat sekilas kakaknya yang tak acuh akan kepulangannya. Kemudian, dia menghampiri ibunya.
“Waalaikumsalam. Di kalau adiknya salam mbok dijawab.” Ibunya yang juga duduk di kursi ruang tamu menatap Ledi, anak perempuannya, sejenak. Ruang tamu mereka sekaligus menjadi ruang keluarga untuk menonton televisi.
“Waalaikumsalam.” Ledi menjawab dengan singkat dan muka datar, lebih ke tidak peduli.
“Kok kakak nggak bantuin ibu melipat baju sih?” Biru bertanya dengan polosnya.
Tidak ada jawaban dari kakaknya.