Ketika Rumah Bukan Tempat Tinggal

Putri Zulikha
Chapter #7

Keran

Anak kecil itu mengayun-ayunkan plastik kresek yang berisi belanjaannya. Mukanya ditekuk. Dia berjalan setengah menunduk. Untuk anak seumuran dia, sangat sulit untuk mengerti benar atau salah atas ucapan orang lain yang diutarakan kepadanya.

‘Apakah aku bukan anak kandung ayah sama bunda? Apa benar aku anak pungut makanya bunda tidak memperlakukan aku seperti yang dilakukan ibu teman-temanku ke anaknya?’ Kelabu membatin.

Bruk. Plastik gula terjatuh. Kelabu memungutnya. Untung saja yang sobek hanya plastik luas saja. Jika plastik gula sampai sobek, dia akan terkena masalah lagi. Namun, sepertinya dia tidak peduli. Tatapannya cederung kosong.

Pikiran anak itu dipenuhi tanda tanya. Pasalnya, bundanya juga beberapa kali mengucapkan hal yang sama ketika dia sedang menangis dan marah. Waktu kecil, ketika dia masih sekamar dengan bundanya, ketika dia menangis dan enggan mengacuhkan bundanya, Bu Maryati akan berkata, “Kembalikan saja dia ke perempatan jalan, Bran! Balikin ke ibunya saja kalau sudah tidak mau dibilangin sama bunda!” Seru Bu Maryati kepada Gibran dari dalam kamar. “Sudah, Bran nggak jadi dikembalikan. Ela sudah kapok kok.”

Bayangan memori-memori itu menari-nari di otaknya. Kalimat-kalimat yang menyakiti hati kembali bermunculan memenuhi benaknya hingga membuatnya penuh sesak dan mendesak air matanya untuk keluar. Namun, anak kecil itu berusaha sebisanya untuk menahan tangisnya.

“Ini, Bun, gulanya.” Kelabu menyerahkan gula ke bundanya, lalu pergi begitu saja ke kamarnya tanpa menatap mata Bu Maryati.

“Kenapa itu anak, matanya merah begitu kayak mau nangis.” Bu Maryati mengamati sekilas anaknya, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Dia menaikkan bahunya sejenak, menarik bibirnya ke atas. “Astaughfirullah sobek? Untung aja nggak bocor gulanya.” Ibu tiga anak yang masih menyisakan kecantikan di wajahnya itu menggeleng-gelengkan kepala.

Di dalam kamarnya, Kelabu meluapkan segala kesedihannya. Dia mengeluarkan semua yang mengganjal hatinya, yang membuatnya merasa sakit. Lagi-lagi, tanpa suara. Anak itu pandai sekali menyembunyikan lukanya ke dalam buku harian miliknya.

“El, mandi! Sudah mau magrib malah ke kamar lagi, buruan mandi sana!” Bunda meneriakinya.

“Huh....” Anak perempuan itu menghela napas. Dia mengusap lelehan air matanya di pipi dan beranjak duduk. Dia mengatur napasnya, berusaha agar tidak ada yang tahu bahwa dia usai menangis.

“Ela...! Denger nggak? Kalau diajak bicara orang tua itu dijawab!”

Kelabu tetap tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan diri. Lalu, diambilnya handuk, ditaruhnya di pundak, dan beranjak ke kamar mandi yang letaknya di samping dapur. Mendengar bunyi pintu kamar mandi tertutup pun, Bu Maryati menoleh.

“Airnya dihidupin biar nggak habis!”

Tanpa menjawab, Kelabu membuka selang yang menempel di keran biar terdengar bunyi air mengalir dari luar kamar mandi. ‘Padahal setiap hari juga sudah dihidupin, sudah dibilangin juga kalau aliran airnya nggak kedengeran karena diselang, masih saja ribut terus.’

“Habis mandi ngisi botol minum terus taruh kulkas ya, El!” Bundanya kembali menyerunya dengan perintah.

“Kenapa harus aku lagi? Kenapa nggak kakak aja? Dia juga nggak ngapa-ngapain kok.” Kelabu ngedumel sambil menyantolkan handuknya.

***

Malam telah memasuki rumah-rumah. Lampu-lampu telah dinyalakan sebagai penerangan agar tetap bisa beraktivitas sebagaimana mestinya. Kelabu di atas kasur kakaknya sedang mengerjakan tugas pengetahuan alam yang diberikan oleh Bu Artini hari kamis kemarin. Sementara itu, Gibran masih asyik dengan laptopnya.

“Orang setiap hari kerjaannya cuma main game doang di laptop kok dibangga-banggain. Nggak tahu aja Bu Ar apa yang dia lakukan di rumah.” Kelabu berbicara sendiri sambil menyindir kakaknya. “Mendingan juga aku, masih mau belajar kalau ada pekerjaan rumah.”

“Kakak kasih tahu ya, El. Keran itu menyatu sama peralon yang menjadi perantara jalannya air dari tanah ke bak mandi. Kalau tanahnya itu nyumber, nggak kering, otomatis ketika kerannya dibuka ya keluar airnya deras. Nah itu kakak... sudah pintar dari sananya. Beda sama kamu... mau belajar juga gitu-gitu aja, soalnya tanahnya agak kering, hahaha....” Gibran menyombongkan diri ke adiknya sambil terus menatap layar laptop.

“Aku juga pintar, tapi aku nggak mau sombong aja. Orang sombong itu temannya setan, Kak. Makanya, keranku cuma aku buka kecil. Kalau aku mau buka pol, aliran airnya juga besar.”

“Sayangnya keranmu itu memang mampet, hahaha....”

Kelabu memukul Gibran dengan bukunya. Gibran memiringkan badannya. “Nyatanya si Jingga belajar setiap hari juga nilainya biasa-biasa aja, pinteran juga aku.”

“Hush, nggak boleh ngerendahin orang lain kayak gitu, El. Nggak baik.”

Lihat selengkapnya